HAL TERBEGO TENTANG CINTA

Chiklarasati
Chapter #13

ORBIT 12

Latihan tenis yang panjang akhirnya selesai. Siang tadi mama bersikeras mengantarku ke pusat pelatihan, katanya akan ada kejutan saat dia menjemputku pulang. Seperti biasa mamaku sulit ditebak tapi aku lebih suka menuruti kerewelannya. Dulu papa yang selalu menghadapi karakter dan moodswingnya mama, tapi setelah papa pergi mama jadi tidak punya tempat bersandar lagi. Memang, aku tidak akan pernah bisa menggantikan keberadaan papa tapi setidaknya aku ingin mama bisa mendapat ketenangan di tengah tekanannya sebagai orangtua tunggal.

Sebelum mobil merah mencolok milik mama terparkir pun sebenarnya aku sudah menyadari kedatangannya tapi mama memang sangat suka membuat kehebohan. Dia berteriak memanggilku dengan sebutan “Adek”, membuatku lagi-lagi jadi bahan tawaan. Aku berjalan ke arah mama dan betapa kagetnya saat kutemukan cewek itu di dalam sana dengan mamaku. “Mama culik Una?” Sebuah kejutan yang tidak pernah terlintas di kepalaku.

Mama berkedip satu mata padaku, “Pengennya sih begitu supaya minggu depan Runa masih tinggal di rumah kita.”

Runa Prameswari. Namanya cantik seperti dirinya. Bukan sekadar wajahnya—wajahnya juga cantik tapi ada sesuatu yang lebih penting dari pada wajahnya—dia punya jiwa yang cantik. Aku lebih suka memanggilnya Una. Seolah panggilan itu spesial karena hanya aku yang memakainya. Una menjelaskan kalau orangtuanya menitipkan dia pada keluarga kami selama mereka berlibur. Tiba-tiba saja dadaku hangat mengingat hal seperti ini sering terjadi di masa kecil kami.

Aku duduk di balik kemudi dan menyalakan mobil. Tiba-tiba wajah Una sudah sangat dekat dari pipiku. Dia mengeluh karena menganggap aku memperlakukannya seperti anak kecil. Diam-diam aku menghitung usia kami dan bertanya-tanya mengapa aku tetap ingin melindunginya seperti dulu. Padahal dia banyak berubah. Dia tidak secengeng dulu, tidak sepemalu dulu. Malahan dia jadi lebih cerewet sekarang. Tapi dia menjadi sangat cantik.

****

Una melewati malam pertamanya di rumah kami, rumah baru yang belum pernah dia kunjungi semasa kecil. Lingkaran di sekitar matanya tampak jelas dan dia seperti orang yang kurang tidur. Aku menawarinya kopi sebelum kami berangkat bersama ke sekolah namun dia menolak. Katanya dia tidak suka kopi.

Kami sudah berjalan beriringan sejak turun dari mobil. Dia berjalan dengan cepat seperti orang penuh semangat walau mulutnya menguap beberapa kali di dalam mobil. Sepertinya dia suka berada di sekolah. Ada sesuatu tentang sekolah yang mebuatnya tidak sabaran ingin segera sampai di kelasnya. Aku tidak terlalu memikirkan apa yang membuatnya sesemangat itu karena kupikir apa pun itu—itu adalah hal yang sangat dia sukai—sampai aku melihat seorang cowok berdiri menyambut kedatangannya dari tangga.

Dia adalah seorang cowok yang selalu terlihat bersama Una belakangan ini. Aku sedikit berterimakasih padanya. Kalau waktu itu dia tidak melewati kelasku saat Una mengejarnya mungkin butuh waktu lebih lama bagiku untuk menyadari keberadaan Una di sekolah ini. Memang pernah beberapa kali aku merasa melihat seseorang yang mirip Una kecil-ku, tapi kata Kak Leon mereka tinggal di Jakarta, bukan Semarang.

Aku meninggalkan mereka di tangga itu dan berlalu ke kelasku yang letaknya satu lantai lagi. Kunaiki anak tangga satu per satu hingga sampai di koridor lantai kelasku. Hari ini aku datang lebih telat dari biasanya dan beberapa temanku dari ekskul tenis menungguiku di koridor, mungkin ingin membahas soal babak penyisihan olimpiadi internasional untuk usia pemuda. Juri melambaikan tangan menyapaku dari ujung sana namun entah apa yang membuatku tiba-tiba tak mempedulikannya.

Langkah kakiku mengecil. Rasanya seperti ada yang tertinggal. Satu per satu kuingat semua yang kumasukkan dalam tas sekolahku pagi ini—tapi, sungguh, tak kutemukan penyebab perasaan mengganjal ini. Ponselku berdering dan kulihat siapa peneleponnya. Dari mamaku. Kuangkat telepon sambil kembali membulatkan langkah menuju kelas.

“Dek... Bekal yang mama siapin buat Runa ketinggalan di rumah. Padahal tadi pagi dia makannya dikit banget seperti kucing. Mungkin dia masih sedih karena tiba-tiba harus mengungsi di rumah kita. Kamu tolong bawa dia ke kantin, beliin roti buat jaga-jaga kalau dia tiba-tiba lapar, ya?” ucap mama dari ujung telepon. Aku langsung mengiyakan permintaan mama. Kemudian mama memberitahu kalau siang ini dia akan pergi ke luar kota, ada urusan beberapa hari. Dia memintaku menjaga Una selama dia tidak ada. Yang itu kuiyakan juga.

Kuputar arah langkah kakiku, berbalik ke tangga. Kuabaikan Juri dan teman-temanku di belakang sana. Yang anehnya adalah kali ini langkah kakiku membesar. Tiba-tiba aku teringat dengan betapa semangatnya Una saat dia memasuki sekolah pagi ini. Sepertinya aku mulai mengerti bagaimana rasanya semangat yang muncul hanya dengan memikirkan seseorang.

Aku ingin melihat wajahnya. Padahal baru saja kami berjalan beriringan. Kurasa dia seperti kafein yang membuatku candu. Setiap milinya kusesap perlahan karena ingin rasanya bertahan lebih lama di lidahku. Pagi sudah minum, siang minum lagi, terkadang kalau sedang keluar dengan teman-teman juga minum lagi. Aku tidak bisa jauh-jauh darinya.

Sayangnya dia bukan kopi yang bisa kubeli dengan mudah. Dia sosok yang mempunyai jiwa. Jiwanya terbagi atas perasaan dan pikiran. Dan dari kedua bagian itu tak satu pun buatku.

Aku terdiam di ambang pintu kelasnya, menyaksikan dia dicium oleh Gibran. Ingin kutinju Gibran tapi di detik aku tersadar kalau Una juga menginginkan ciuman itu aku hanya bisa menahan. Menahan perasaan dalam diriku. Ah, mungkin aku hanya sedang bingung saja. Mungkin aku tidak benar-benar cemburu.

 Cemburu? Apakah seperti ini rasanya?

****

Sorenya dia jatuh sakit. Dokter bilang asam lambungnya kambuh karena telat makan, dan kehujanan membuat kondisinya memburuk. Aku tidak tahu kalau dia punya penyakit asam lambung. Aku juga tidak tahu apa yang dilakukannya sendirian di atap sekolah sampai terkunci seperti itu. Dalam keadaan setengah sadar dia memintaku memberitahu Gibran untuk tidak datang ke atap sekolah.

Detik itu juga aku mencari tahu kontak Gibran tapi sepertinya orang itu tak memberikan kontaknya pada siapa pun. Jadi cara yang kupakai untuk menghubunginya adalah mencari akun media sosialnya dari daftar pertemanan media sosial Una. Begitu dapat langsung kuminta dia untuk datang ke rumah sakit. Ada sesuatu yang harus kutegaskan padanya.

Malam itu spontan saja kukecup dahi Una sebelum keluar dari ruang rawat inapnya. Entah sejak kapan aku jadi brengsek seperti ini.

Lihat selengkapnya