Pada suatu hari hiduplah seorang putri yang selalu bahagia. Suatu ketika seorang ksatria bayangan datang dan berkenalan dengannya. Ksatria itu bertubuh jangkung, dan saat sedang serius dia akan memakai kacamatanya. Mereka saling jatuh cinta. Namun suatu hari ksatria itu harus pergi ke medan tempur. Tak ada sepucuk surat pun yang sampai ke sang putri. Sang putri menjadi goyah.
Lalu datanglah seorang pangeran, yang sudah sejak lama dijodohkan dengan sang putri. Kulitnya seputih salju, bibirnya semerah darah dan rambutnya sehitam langit malam. Suatu ketika dalam malam yang berat bagi sang putri karena merindukan ksatrianya, sang pangeran mengajaknya berdansa dan berjanji akan menghapus ingatan putri tentang ksatria itu.
Samar-samar terdengar sebuah suara memanggilnya. “Runa...”
“Runa...”
Pagi menyambut. Sinar matahari yang masuk dari kaca jendela kamar gadis itu membujuk agar dia menyapa hari yang baru. Dia baru bermimpi panjang. Mimpi yang aneh dan kekanakan.
Runa meregangkan tubuh, mengumpulkan niat untuk bangun. Tapi tiba-tiba dia teringat sesuatu. “Ma, hari ini libur. Dan semalam Runa nyampe rumah jam 12.”
Rika, ibunya, adalah tipe ibu-ibu yang tidak mau repot. Untungnya dias sangat mengenal karakter anaknya itu. Dia tidak bisa tidur tanpa selimut tebalnya yang beraroma lembut. “Ayo cepat sikat gigi sana biar sarapan!” Rika menarik selimut anaknya.
Dengan malas Runa menarik kembali selimutnya dan kini selimut itu kembali menutupi dirinya, sampai ke alis. “Tapi kata iklan di TV sikat gigi pagi sesudah makan dan malam sebelum tidur, ma.”
Tak terima dengan aksi pemberontakan, Rika kembali menarik selimut itu dari tubuh Runa dan melemparkannya sembarang. “Dan gak ada iklan yang nyuruh kamu sarapan di dalam mimpi kan? Ayo cepat Runa Prameswari BANGUUUNN!!!”
Oh, berhasil. Mungkin karena selimut itu terlalu jauh untuk dia ambil kembali. Runa bangkit dengan pasrah dari tempat tidur. Dia memakai sepasang sandal rumah berbentuk panda yang terletak di samping tempat tidurnya sambil menguap. Dalam hati dia masih sedikit mengeluh. Beginilah kalau liburan hanya di rumah saja. Akan sangat membosankan dan melelahkan. Tapi tidak ada pilihan lain. Cuti tahunan Andre, ayahnya, sudah habis dipakai untuk berbulan madu beberapa waktu lalu. Oh, bulan madu itu! Mengingatnya saja membuat Runa kesal.
Tak lupa Runa mengambil earphone yang tergeletak di atas meja dekat tempat tidurnya. Dia menyambungkan earphone itu pada ponsel dan mulai memasang lagu pop dari sana. Lagu dari Korea, lagu berbahasa Korea. Sebenarnya dia tidak hapal liriknya, tapi dia selalu percaya diri menyanyikannya dengan suara kuat setiap sambil beraktivitas. Saat ini menuruni tangga untuk ke ruang makan saja rasanya sudah sangat berat, jadi dia benar-benar butuh lagu itu untuk menyemprotkan semangat buatnya. Benar, tak perlu malu bernyanyi kuat-kuat.. Toh tidak akan ada yang menyaksikan selain kedua orangtuanya, tapi...
Tubuh Runa mematung tepat di ambang pintu ruang makan mereka yang terbuka mendapati Tiger Morikawa tengah duduk di salah satu kursi sambil menyesap teh. Tiger pun ikut mematung selama sedetik, tapi sedetik kemudian dia kembali menyesap teh seolah tak menyaksikan apa pun.
“Pagi,” sapa Tiger dengan senyum yang dia atur agar tampak senormal mungkin.
Tepat saat suara lembut lelaki itu masuk ke telinganya dia tersentak sadar. Runa memutar tubuh dan berjalan pelan menjauhi ruang makan. Lima langkah kemudian dia mempercepat jalannya, semakin cepat dalam setiap langkah hingga akhirnya dia berlari menaiki tangga dan kembali ke kamarnya.
Rika masih di kamar itu, merapihkan tempat tidur Runa, dan tepat saat melihat wajah Runa dia langsung melontarkan kekesalannya. “Bangun pagi bukannya langsung bersesin tempat tidur!”
Runa mengabaikan ocehan ibunya. Kakinya mendarat di depan meja riasnya yang mempunyai kaca setinggi satu meter lebih di sisi dinding. Dia mencondongkan tubuhnya agar melihat wajahnya kusutnya yang masih sedikit tertempel make up karena dia bahkan tidak sempat membersihkan wajahnya semalam, dan, “KOTORAN MATAAA!!!” Dia tidak ikut meneriakkan satu hal memalukan lain: rambutnya seperti habis kena tiup topan.
****
Suasana di ruang makan campur aduk. Rika menertawakan putrinya tanpa malu-malu. Andre pura-pura memusatkan perhatian pada puding telurnya. Runa mengaduk puding telur sambil melemparkan tatapan maut pada Rika. Tiger... Ah, tidak ada kata yang bisa dipakai untuk menjelaskan situasinya saat ini. Yang jelas dia berharap agar tidak menyinggung perasaan Runa yang sepertinya sangat mempermasalahkan kehadirannya pagi ini.
“Jadi, kalian mau jalan ke mana?” tanya Andre sehabis meneguk air putih.
Runa mengernyit, sesaat kekesalannya pada ibunya jadi hilang. “Jalan?” Dia tampak kebingungan.
Tiger meletakkan sendok di gelas pudingnya dan menatap Runa. Seperti biasa, ada sesuatu yang berbeda dengan caranya menatap gadis itu. Runa selalu berpikir bahwa Tiger memang punya kebiasaan menatap seseorang dengan dalam, tapi tidak, Tiger hanya melakukannya pada Runa—entah dia sendiri sadar atau tidak.
“Mungkin kamu gak dengar ucapanku karena buru-buru keluar dari mobil semalam,” kata Tiger. Sejujurnya dia juga kaget ternyata Runa masih tidur saat dia sudah sampai di rumahnya. Runa mengangkat alis, menuntut penjelasan. “Kemarin pas aku kasih tau kamu kalau aku akan jemput kamu jam delapan pagi, mungkin kamu gak dengar. Dan kebetulan aku sampai rumah terlalu larut jadi gak mau nelpon kamu, takut mengganggu tidur kamu. Tante dan om udah ngasih ijin ke kita. Kamu gak keberatan, kan?”
Runa melongo. Tiba-tiba saja legannya sudah dicengkeram oleh Rika, “Kalau keberatan kan bisa tinggal diet.” Lalu Rika tertawa namun matanya menatap tajam pada Runa.
Demi Tuhan! Batin Runa. Dia tidak punya pilihan. Dan bukankah melewati hari pertama liburan semester dengan Tiger jauh lebih menyenangkan ketimbang mengutuki nasib sendiri kaarena pacarmu ternyata tidak menganggapmu penting?
Ah, pacar. Entah Runa masih bisa menyebutnya seperti itu atau tidak.
****
Tidak butuh waktu lama bagi Runa untuk bersiap-siap. Dengan senang hati Rika jadi relawan, memilihkan pakaian dan memberi riasan tipis di wajah anaknya. Runa jadi teringat masa kecil. Setiap dia akan tampil di panggung untuk pertunjukan atau perlombaan, ibunya yang selalu lebih antusias dari dirinya.
Tiger membukakan pintu mobil untuk Runa. Runa sempat senyum dengan hidung berkerut ke Tiger karena tidak terbiasa diperlakukan seperti itu tapi Tiger tidak peduli. Malahan senyumnya mengembang. Jujur saja, dia tidak pernah menunggu hari ini, tapi ketika sudah terjadi barulah dia sadar, dia membutuhkan masa seperti ini.
Setelah menutup pintu untuk Runa, Tiger masuk dalam mobil dan duduk di belakang kemudi. Dia membunyikan klakson tanda berpamitan dengan Rika yang berdiri di ambang pintu masuk dengan wajah berseri-seri.lalu memijak gas. Mobil berjalan perlahan melewati gerbang rumah Runa dan berbelok untuk melewati air mancur di dekat ujung blok.
“Kita mau ke mana?” tanya Runa.
Tiger mengatur arah kaca dasbor mobil, “Coba tebak,” kata Tiger.
Runa mengangkat sebelah bahu. “Lapangan tenis?” Jawabnya ragu.
Tiger meliriknya dengan alis terangkat.
“Sebentar lagi babak penyisihan akhir Youth Olympic, ingat?”
Tiger memutar kemudi dan mobil berbelok meninggalkan gerbang masuk komplek perumahan. “Jadi ini baju yang kamu pilih untuk kencan di lapangan tenis?”