Runa benar-benar payah dalam mengendarai ATV. Berkali-kali dia menabrak pohon dan batas jalan. Tiger tak kuasa menertawai kesialan cewek itu dari belakang. Andai jalan area permainan ATV itu lebih lebar, Tiger pasti mengendarai miliknya di samping Runa agar lebih mudah mengajarinya kapan waktu yang tepat untuk memutar stang, tapi arena permainan ATV di tempat itu tidak sampai tiga meter lebarnya dan berkelok pula.
Sejujurnya Runa agak malu karena terlihat sangat konyol di atas ATV itu namun dia tidak bisa menahan menertawakan diri sendiri.
“Belok kiri! Sekarang!” Teriakan Tiger terdengar dari belakang Runa.
Runa langsung melakukan seperti yang dikatakan Tiger, tapi dia berbelok terlalu tajam dan malah kembali menabrak pembatas jalan hingga ATVnya berhenti bergerak. Tiger mengerjap kaget—dia selalu seperti itu setiap Runa menabrak apa pun yang ada di sekitarnya—tapi kemudian mereka berdua sama-sama menertawakan kekonyolan Runa.
“Sumpah demi apa pun, Una gak mau lagi main ATV!” kata Runa sambil berjinggat saat berjalan mengikuti tuntunan Tiger ke wahana permainan selanjutnya.
Tiger menelengkan kepala, “Karena takut celaka atau karena malu?”
Runa mendorong lengan Tiger membuat tubuh cowok itu sedikit menjauh dan mengarahkan telunjuknya padanya, “Jangan ungkit soal kejadian tadi di depan mama!” Terdengar seperti ancaman.
“Atau apa?”
“Atau...” Runa memberi jeda, memikirkan ancaman yang tepat untuk diucapkan, “Una bakal nyebarin foto masa kecil Tiger ke anak-anak sekolah.” Sambungnya.
Tiger mendesah tawa, “Sama sekali enggak menyeramkan,” tampiknya.
Runa mengerang sebal. Tubuhnya kembali bertabrakan, kali ini dengan seorang pria jangkung yang berjalan berlawanan arah dengannya, tapi untuk kali ini bukan karena pikiran gadis itu sedang melayang entah kemana, melainkan karena dia terlalu fokus melemparkan tatapan sebalnya pada Tiger sementara pria jangkung yang menabraknya itu juga sedang membicarakan sesuatu yang menghebohkan dengan wanita di sampingnya. Dan sialnya lagi, rambut Runa tersangkut pada risleting jaket pria itu. Runa menarik rambutnya dengan lembut sebelum dia dan pria jangkung itu sama-sama meminta maaf dan kembali lanjut berjalan.
“Tunggu,” kata Tiger, menghentikan langkah mereka. Dia menarik lengan Runa dan mereka berdiri berhadapan.
Tiger merogoh saku celananya dan mengeluarkan sapu tangan dari sana. Dia membuka lipatan sapu tangan itu lalu kembali melipatnya namun dengan pola yang berbeda. Sapu tangan itu dia lipat dua berbentuk segitiga kemudian menggulung sapu tangan itu dari alas segitiga sampai puncaknya hingga sapu tangan itu kini memanjang seperti pita.
Tanpa aba-aba tangan Tiger melewati leher Runa dan meraih semua rambut cewek itu, mengumpulkannya di tangannya dan mengikatnya dengan sapu tangan miliknya. Jarak tubuh mereka kini sangat dekat. Runa terkesiap dan tiba-tiba teringat dengan dansa mereka kemarin malam. Dia suka aroma parfum Tiger. Lembut, jarang sekali ada parfum pria dengan aroma yang menenangkan seperti itu.
Setelah rambut gadis itu terikat Tiger menarik tangannya dan tersenyum, “Kamu butuh ikat rambut supaya angin enggak mengganggu penglihatan kamu di permainan berikutnya,” ucapnya.
Runa mengernyit bingung sementara Tiger kembali menuntun arah perjalanan mereka. Dan dua meter kemudian barulah Runa sadar ke mana cowok itu membawanya.
Marine Bridge.
Runa mendesah kencang dan melipat tangan di dada. Dia melirik Tiger dengan mata disipitkan. “Una gak ikut!”
“Apa yang membuat kamu sangat takut dengan Marine Bridge?”
Mata Runa menyembul, “Tiger tau kalau Una bahkan tutup mata naik Flying Fox?”
Tiger tersenyum menahan tawa, “Serius?”
Runa mengangguk dengan bibir cemberut, berharap Tiger membiarkannya menjadi penonton setia selama cowok itu menyeberangi jembatan tali itu, tapi, “Kalau gitu kamu benar-benar wajib ikut!” kata Tiger.
Runa melototinya, tak percaya. “Tiger kepengin Una kena serangan jantung?”
“Selama kamu mandi dan bersiap-siap di kamar kamu tadi pagi aku udah menanyakan riwayat penyakit jantung dan penyakit serius kamu ke Om Andre tapi kata om kamu sehat bugar,” dalih Tiger.
Runa berdesis, “Gak mau!”
“Aku bujuk sampai mau.”
“Tiger!” Una mengerang.
Tiger tersenyum dengan satu alis terangkat, “Una?”
Runa menyerah. Membujuk cowok itu tidak akan mempan begitu saja, harus pakai cara yang lebih cerdik. Untungnya dia paling ahli soal mencari alasan. Runa menunjuk ke arah langit sambil menengadah dengan mata menyipit karena silau. “Mataharinya udah tinggi banget. Sunblock Una dalam mobil.”
Tiger tidak menjawab. Merasa diabaikan, Runa menurunkan wajahnya dan mendapati cowok itu sedang menatap mata Runa dan senyum samar terpatri di wajahnya. Kerutan di dekat hidungnya itu sungguh membuat senyumnya jadi lebih menawan, sungguh, Runa terpaksa mengakuinya dalam hati. Tapi dia tidak mau Tiger menyadari kekaguman Runa pada senyum sialannya itu, jadi Runa mengangkat alis menanyakan kebisuan Tiger.
“Kenapa?” Tanya cewek itu dengan nada sinis.
“Kamu manis banget waktu ngeles,” ucap Tiger.
“Sejak kapan kamu jadi senyebelin ini?” Sahut Runa dengan nada datar walau sedetik lalu dia lupa bernapas.
Tiger mengangkat alis, “Kamu panggil aku ‘kamu’?”
Runa mengalihkan pandangannya dari Tiger dan pura-pura memandang berkeliling, “Karena kamu sama sekali bukan Tiger yang kukenal.”
“Berarti rencanaku berhasil?”
Runa memutar bola mata. “Berhasil bikin aku kesal!”
“Sengaja. Kan aku sudah bilang, kamu manis kalau lagi kesal.”
Runa mendengus. “Tadi kamu bilang kalau lagi ngeles?”
“Berarti tambah satu hal lagi yang membuat kamu manis.”
Oh, Tuhan. Apakah kepala Tiger terbentur dengan sesuatu tadi pagi?
Tiger menunjuk Marine Bridge dengan gerakan kepala. Hampir saja Runa lupa kalau cowok di depannya itu sedang mengajaknya menguji kemampuan jantungnya menghadapi kengerian di bawah jaring-jaring jembatan tali itu.
Runa bergeleng kepala dengan dramatis, “Jujur aja deh! Jadi sosok yang kamu pengin aku lihat dari kamu itu adalah sosok kamu yang keras kepala?”
“Aku cuma mau tunjukin ke kamu gimana rasanya setelah berhasil melewati sesuatu yang kamu pikir enggak akan mampu kamu lewati.” Lalu Tiger kembali melihat ke arah Marine Bridge dan Runa mengikuti arah pandangnya.
Gadis itu tersenyum hambar. Perkataan Tiger membuatnya kembali mengingat sosok Gibran. Tadinya dia pikir mereka bisa melewati cobaan hubungan jarak jauh—nyatanya tidak. Dan kini dia memasuki sebuah cobaan baru yang harus dia lewati sendiri, untuk menghargai dirinya sendiri yang sudah berjuang semampunya walau Gibran sama sekali tidak memandang perjuangan itu.
Tiger melihat Runa dari ujung matanya. Sebuah kepahitan menjalar di dadanya menyaksikan cewek itu tersenyum hambar walau hatinya sedang hancur. Hal itu membuatnya kembali teringat dengan tangisan Runa di pesta dansa kemarin malam. Gibran harus bersyukur karena jarak antara Semarang dan California menyelamatkannya dari tonjokan Tiger.
Tiger menarik napas panjang dengan lembut, tidak ingin Runa menyadari ketegangan di dadanya. Lalu dia menyentuh pundak Runa untuk menyadarkan cewek itu dari lamunan dan berjalan lebih dulu, “Ayo,” Katanya. Kali ini Runa menurut.
****
Hanya ada satu orang pria bertubuh agak gemuk yang sedang uji nyali di Marine Bridge itu. Runa mengamati tubuh tampak belakang pria itu dari tempatnya berdiri sementara petugas pengawas Marine Bridge memakaikan perlengkapan keamanan di tubuh Runa. Sejujurnya sabuk yang menjadi penghubung antara tubuhnya dengan tali di atas Marine Bridge tidak terlihat begitu aman. Runa ragu jika kesialan menimpanya dan tiba-tiba dia terpeleset sampai ke ujung jembatan hingga terjatuh sabuk itu akan mampu menahan tubuhnya.