Runa sampai di rumah pukul lima lewat tujuh belas sore. Saat itu Rika sedang bersenam aerobik di depan layar televisi lima puluh inch di ruang tengah. Dia suka melihat ibunya tetap produktif walau fokus jadi ibu rumah tangga sejak dirinya masih balita, kewalahan menyesuaikan waktu untuk mengurus anak dan mengurus pekerjaan. Tapi sejauh yang diamatinya, sia bersyukur ibunya memilih dia dan Aldi ketimbang pekerjaan. Ibunya adalah tipikal ibu-ibu perhatian dan kepo, agak mengesalkan, tapi lebih baik ketimbang Runa harus sering-sering merasa kesepian.
“Kok pulangnya cepat banget? Kencannya berjalan lancar, gak?” Kalimat itu lolos begitu saja dari mulut Rika begitu menyadari kehadiran Runa yang kini duduk di sofa yang menghadap ke televisi. Tuh, lihat. Kepo.
“Runa sama Tiger enggak kencan, ma,” elak Runa. Dia mengamati tubuh berbentuk gitar ibunya dari belakang dan tiba-tiba teringat bualannya ke Tiger tentang akan melakukan work out di rumah selama libur.
Rika mendesahkan tawa dan kini gerakan senamnya memelan karena sudah waktunya pendinginan. “Cowok sama cewek, enggak ada hubungan apa-apa, jalan-jalan berduaan sampai berjam-jam, namanya apa kalau bukan kencan?” Ini dia satu hal lagi yang Runa suka tentang ibunya. Terkadang wanita itu bisa menjelma menjadi sosok teman sebaya, walau sekali lagi, agak mengesalkan, tapi bukan berarti dia tidak membutuhkan sisi itu dari ibunya, kan?
Runa memutar bola mata. “Kita sahabat, ma,” dalihnya setelah berpikir selama beberapa detik.
“Iya, iya, sahabat,” sahut mamanya dengan cepat.
Kini layar televisi menampilkan instruktur senam dengan dua orang murid di belakangnya melakukan gerakan menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan sambil terus memberi arahan pada pemirsa. Rika mengikuti semua arahan instruktur dengan terampil dan tampak masih bersemangat walau tubuhnya bercucur keringat.
Pertemuan yang bagus adalah sebuah pertemuan yang membuatmu teringat tentang hal-hal yang kalian lakukan dan bicarakan sesudah berpisah dan itulah yang terjadi dengan Runa saat ini. Tubuhnya dia lemaskan dengan kepala berbantalkan lengan sofa dan mulai memikirkan ‘action plan’ yang dia dapatkan setelah pertemuannya dengan Tiger. Menghubungi Cindy, sedikit berolahraga, mendefinisikan ulang hubungannya dengan Tiger, oh tidak—yang terakhir bukan. Tiger dikelilingi seribu gadis cantik dan berbakat dan saat itu dia pasti hanya membual tentang kencan mereka.
Ponsel Runa bergetar singkat, menandakan notifikasi masuk. Dia mengambil benda berbentuk persegi itu dari tas tangannya. Pesan itu dari grup yang beranggotakan dirinya, Riana, dan Mika. Riana mengajak mereka berjumpa minggu depan karena liburannya tidak berlangsung lama—hanya lima hari. Runa sedang mengetik balasannya untuk menyetujui usulan Riana ketika Mika dengan ajaibnya merespon pesan itu dengan cepat.
“Oke, setuju. Kami juga udah di Semarang minggu depan. Aku punya surprise buat kalian.”
Surprise dari seorang Mika mungkin dia diterima di Oxford University secara dini yang mana tidak akan terlalu mengejutkan. Runa membalas pesan mereka berdua dengan persetujuan dan disusul dengan stiker kartun bergambar kura-kura yang menggemaskan.
Setelah menutup grup itu kini Runa membuka kontak yang dikirim Tiger sebelumnya. Biasanya dia tidak kesulitan untuk memulai percakapan, tapi kalau melalui pesan teks berbeda cerita karena tidak bisa menilai langsung respon lawan bicaranya atas apa pun yang dia ucapkan. Jadi Runa memikirkan beberapa pembukaan yang bagus untuk obrolan mereka sebelum akhirnya memutuskan untuk menanyakan sesuatu pada Tiger lebih dulu.
“Cindy teman Tiger lebih tua, sebaya, atau lebih muda dari Una?” Kalimat itu sudah terketik dengan sempurna tapi Runa menahan diri untuk mengirimnya. Dia diam mengamati hasil ketikannya di ponsel itu selama hampir sepuluh detik hingga akhrinya menggantinya menjadi “Cindy teman kamu lebih tua, sebaya, atau lebih muda dariku?” dan mengirimnya.
Dirinya yang labil merasa menyesali tindakannya hanya sedetik setelah membaca ulang pesan yang telah dikirimnya itu dan menghapusnya. Di tengah perdebatan tidak penting dalam dirinya, ponselnya bergetar kembali namun kali ini berhasil membuatnya mengerjap duduk.
Tiger menelepon.
Dengan langkah terburu-buru dia meninggalkan Rika yang pasti langsung heboh kalau tau Tiger menelpon putrinya itu. Beberapa detik kemudian dia sudah sampai di pinggir kolam Elektro dan duduk di sana dengan santai sebelum akhirnya mengangkat telepon masuk itu.
“Halo,” sapa Runa dari ujung telepon.
“Cindy seumuranku,” jawab Tiger tanpa basa-basi dan di satu sisi lain juga berarti dia sudah membaca pesan terkutuk itu.
“O-oh...” Jantung Runa melompat mendengarnya. “Kalau gitu, nanti Runa panggil dia kakak waktu ngobrol,” sambungnya.
Jeda tiga detik sebelum Tiger menyahut, “Aku belum berhasil sepenuhnya membuat kamu berhenti makai namaku sebagai kata ganti subjek dalam susunan kalimat kamu?”
Runa menghisap bagian dalam pipinya, berpikir hal itu bisa menghentikan senyumannya. Hal yang dia belum pahami adalah wajah bisa berbohong tapi hati tidak.
Ada jeda beberapa detik lagi karena Tiger menunggu jawaban Runa tapi gadis itu diam saja. Terdengar suara pintu yang terbuat dari besi dibuka dan ditutup dari ponsel Runa dan akhirnya dia tahu mau berkata apa. “Kamu udah sampai?” Astaga, dia sendiri kaget dengan kata ‘kamu’ itu dan seolah dia mendengar senyum kemenangan Tiger dari balik sana.
“Iya. Cindy juga punya jadwal latihan hari ini jadi mungkin dia enggak langsung balas chat kamu,” jawab Tiger, mengingatkan Runa kalau alasan perpisahannya dengan Tiger hari ini adalah karena dia punya jadwal latihan tenis.
Runa mengangguk walau hanya Electro yang menjadi saksi. “Makasih buat hari ini,” sebutnya.
“Udah buru-buru mau matiin telepon?”
Kini kepala gadis itu bergeleng cepat, “Aku cuma gak mau ganggu latihan kamu,” tampiknya.
Terdengar kekehan Tiger di ujung telepon. “Aku bercanda,” sahutnya.
Runa kembali menghisap bagian dalam pipinya, kini sambil bertanya-tanya kenapa dia harus menjelaskan tindakannya pada cowok itu.
“Tapi kamu benar, aku harus latihan sekarang. Nanti aku telepon kamu setelah sampai rumah.” Terdengar seperti sebuah janji.
Runa menggigit bibir, menimbang-nimbang apakah bertelepon di malam hari adalah hal normal untuk mereka lakukan? Iya, mereka berteman, tapi coba hitung, ada berapa banyak teman lawan jenis yang melakukan obrolan dengan telepon di malam hari?
“Kita lihat nanti.” Jawab gadis itu akhirnya. Tidak. Mengobrol lewat telepon di malam hari bukan hal normal, jadi itu tidak akan terjadi.
“Jawaban kamu punya beberapa makna, tapi see you on our night phone call. I will make it happen.” kata cowok itu dan demi Tuhan, seseorang harus mengingatkan Tiger bahwa suara serak dan aksen bahasa Inggrisnya terdengar sangat berbahaya bagi gadis mana pun.
“Bye,” sahut Runa lalu buru-buru memutuskan telepon mereka.
Seperti orang sakit, Runa menghusap-husap dadanya dan harus repot-repot memberitahu diri sendiri kalau dia seorang gadis yang tengah putus cinta dan move on secepat itu bukan hal baik. Tapi satu hal yang tidak Runa sadari saat ini, wajahnya merah berseri.
****