Runa tiba di depan restoran De’ Sushi jam tiga lewat lima menit. Dengan langkah terburu karena takut Cindy kecewa dengan kebiasaan molornya, Runa memasuki pintu restoran yang langsung disambut oleh penerima tamu dan musik instrumen yang mengisi seluruh ruangan. Runa menanyakan meja nomor dua—tempat Cindy duduk pada penerima tamu dan penerima tamu menunjuk ke arah depan Runa. Tak jauh dari pintu masuk, di balik sekat kayu yang menjadi pembatas area makan dan area Waiting List, ada seorang perempuan berkulit putih duduk dengan fokus pada ponsel di tangannya.
Runa berterimakasih pada penerima tamu itu sebelum menghampiri meja yang di atasnya terdapat kotak tissue yang ditempel kertas bertuliskan angka dua. Dia belum pernah datang ke tempat itu sebelumnya jadi dia menyempatkan diri untuk melirik berkeliling sambil berjalan. Menurutnya Cindy punya selera yang bagus. Berdinding kayu dan batu, tempat itu mempunyai nuansa estetik. Atapnya menjulang tinggi, lampu gantung di atap dan lampu taman yang diletakkan di beberapa sisi menjadi penerang utama.
“Kak Cindy?” panggil Runa saat dia sudah berdiri di samping cewek itu.
Cindy menengadah melihat Runa dengan mata berseri dan berdiri menyambutnya. Dia menjulurkan tangan kanan untuk bersalaman, sudah mulai terbiasa dengan cara orang Indonesia saling menyapa. Runa meraih tangan itu dan menyebut namanya, “Aku Runa.”
Cindy mengangguk. “Terimakasih sudah mau datang ketemu denganku.”
Runa mengayunkan pergelangan tangannya, “Aku yang terimakasih,” jawabnya dengan artikulasi jelas dan tempo lebih teratur agar Cindy lebih mudah memahami perkataannya. Lalu dia menghampiri kursi kosong di depan kursi Cindy. Dia duduk di sana bersamaan dengan Cindy yang duduk kembali di tempatnya. Runa meletakkan tas sandangnya di belakang punggungnya. Pada saat itu Cindy mengangkat tangannya memanggil pelayan yang langsung datang dengan buku menu di tangannya.
“Kamu suka sushi?” tanya Cindy.
Runa berkerut hidung, “Aku belum pernah coba,” sesalnya.
“Kamu akan suka,” yakin Cindy. “Dan rasa sushi di Indonesia sudah disesuaikan dengan taste orang Indonesia.”
Runa membalas dengan senyuman. Kini dia mulai membaca buku menu untuk menemukan menu yang bisa menarik seleranya. Restoran itu tidak hanya menyajikan sushi, ada juga menu makanan Jepang lainnya. Tapi Runa sudah terlanjur makan sepiring nasi dengan lauk ayam semur masakan mamanya jam dua belas tadi dan kini perutnya belum meminta makanan berat.
Runa melirik Cindy yang tampak antusias dengan membacakan setiap nama sushi yang dia inginkan pada pelayan sementara pelayan mencatat pesanan cewek itu. “Kamu mau bantu recommend sushi yang enak ke aku?” pintanya.
Cindy mengacungkan jempol dengan riang, “Oke!”
****
Menu-menu pesanan mereka datang lebih cepat dari yang Runa bayangkan. Diawali oleh teh Jepang dingin yang akan langsung diisi ulang oleh pelayan saat gelas mereka kosong dan tak sampai lima menit kemudian datanglah pesanan mereka satu per satu, tanpa henti hingga meja itu kini penuh.
“Kita akan makan semuanya?” Runa melototi isi meja mereka.
“Iya! Aku sudah tanya Tiger apa kamu suka makan, katanya kamu suka,” jawabnya polos.
Alis Runa terangkat membayangkan bagaimana percakapan itu terjadi di antara dua orang itu. Maksudnya, orang macam apa yang menanyakan apakah orang lain suka makan atau tidak? Tapi dia akan segera tahu jawabannya.
Cindy menyatukan kedua telapak tangan sambil bergumam, “Itadakimasu!” lalu menyantap menu demi menu dengan lahap seolah makanan di atas meja mereka adalah makanan terakhir yang dapat dia makan selama sisa hidupnya.
Runa sedang mengunyah maki roll ketika dia menyadari cara makan Cindy yang menurutnya sangat menggemaskan. Tidak banyak perempuan yang ogah jaim saat makan di depan umum. Ditambah tampak jelas di wajah Cindy bahwa semangatnya terisi pada setiap gigitan sushi di mulutnya. Padahal tubuh cewek itu mungil dan wajah chubbynya bikin Runa merasa ingin melindunginya tanpa sebab.
“Kamu yakin enggak mau pesan lagi?” tanya Cindy. Piring makanan mereka sudah kosong dan Cindy punya kebiasaan menumpuk piring yang sudah kosong agar meja makan tidak berantakan. Runa melirik tumpukan piring yang tingginya membuat Runa takut kalau benda itu akan terjatuh karena tak kuasa melawan gravitasi.
Runa melirik Cindy dengan bibir melengkung. “Aku udah kenyang, kak.”
“Jangan sungkan-sungkan. Panggil nama saja,” kata Cindy, membut Runa tersenyum. “Jadi? Kamu suka?” tanya cewek itu kemudian.
Oh, pertanyaan itu membuat Runa teringat dengan rasa wasabi yang sempat dia cocolkan pada sushinya. Runa meneguk ocha-nya sebelum menjawab, “Suka,” jawabnya, berbohong. Berkali-kali saat makan Cindy menyebutkan kesedihannya karena rasa sushi di Indonesia berbeda dengan di Jepang, sushi Indonesia sengaja dibuat untuk orang Indonesia, tapi Runa sama sekali tidak merasa bahwa makanan mentah cocok untuk lidah dan perutnya.
Perasaan lega memenuhi dada Cindy. Dia bukan tipe orang yang mudah bergaul. Bisa dekat dengan anak klub tenis pun berkat bantuan Tiger, sahabatnya. Dia sudah gelisah dan takut memikirkan apa Runa akan suka padanya atau tidak sejak pesan teks pertama Runa sampai padanya. Dia tersenyum sambil memandang wajah ramah Runa. Cewek itu adalah teman yang berharga bagi Tiger. Belakangan ini sudah beberapa kali dia tidak sengaja mengintip ponsel Tiger saat cowok itu saling bertukar pesan teks dengan Runa, padahal Tiger bukan tipe orang yang suka bertukar pesan.
“Maaf, saya sangat lapar that I forgot to introduce myself. Nama saya Cindy Matsubara.” Ujar Cindy dan spontan punggungnya sedikit membungkuk pada Runa.
“No, no. It’s okay. Aku udah tahu nama kamu dari awal,” sergah Runa.
Cindy tersenyum malu, “Tadi pagi saya sengaja mengosongkan perut supaya siang ini bisa eat sushi as much as I could”
Penjelasan cewek itu spontan membuat Runa tertawa gemas. Dia sendiri malah tidak bisa menahan laparnya sebelum berangkat, padahal sangat ingin mencoba berbagai jenis sushi untuk pertama kalinya. “Sepertinya kamu sangat rindu Jepang,” gumamnya.
Cindy mengangguk setuju. Pada saat bersamaan seorang pelayan datang dengan teko berisi ocha dan mengisi ulang cangkir mereka lalu meminta ijin membawa piring kosong bersamanya, mereka mempersilakan dan pelayan itu memasukkan piring kosong mereka pada tray yang dibawa oleh temannya.
“Anyway, about Raffles. Kamu ingin daftar course atau university-nya?” tanya Cindy saat kini mereka kembali berdua saja.
Runa menyondongkan tubuhnya dengan siku bertopang pada meja di depannya. “Kampusnya hanya ada di Jepang dan Korea. Aku gak yakin bisa lolos dan uang kuliahnya pasti mahal.”
Cindy merogoh isi tasnya yang dia letakkan di bawah meja. Tidak lama kemudian dia menyerahkan sebuah selebaran berlatar dominan warna cream pastel yang dicetaknya sendiri pada Runa. Runa mengambil selebaran itu dari tangan Cindy dan langsung tahu kalau tulisan pada selebaran itu berbahasa Jepang. Tapi pada bagian sudut atas kertas tercetak lambang Raffles, membuat Runa jadi penasaran.
“Chusen-kai Daigakuen, di Jepang kami menyingkatnya jadi Chudai. Dia punya program beasiswa tahunan, tapi informasinya tertutup untuk murid yang ambil kelas kursus di tempat kursus mereka,” Cindy menjelaskan sebelum Runa sempat bertanya.
Runa melipat kertas itu dengan rapih sebelum memasukkannya dalam tas. Rencananya dia akan meminta bantuan Tiger untuk mengartikan informasi apa pun dari kertas itu padanya.
“Dan sebenarnya biaya kursus di Raffles tidak terlalu mahal kalau kamu mendaftar pada hari-hari tertentu,” sambung Cindy kemudian.
“Oh, ya? Contohnya hari apa?”
“Hari ulang tahun berdirinya Raffles, hari merayakan tahun ajaran baru, atau mungkin hari kemerdekaan negara kalian,” jelasnya.
Mata Runa berbinar saat menyahut, “Aku enggak tahu soal ini.”
“I think I need to tell you that that’s just how Raffles is. Mereka pelit informasi. Saya sudah memperingatkan paman saya kalau mereka bisa kehilangan banyak murid kalau terus seperti itu.”