“Kamu kelas berapa?”
“Naik kelas tiga, kak.”
“Satu sekolah sama Tiger?”
“Iya, kak.”
“Kalian udah PDKT berapa lama? Atau jangan-jangan udah jadian?”
“Enggak kayak yang kakak pikirkan...”
“Boleh aku panggil Una juga?”
“Kalian pikir ini konferensi pers?” Sergahan Tiger sontak menghentikan rentetan pertanyaan teman-temannya yang membuat Runa kewalahan menjawabnya.
Anggun, seorang anggota klub tenis yang duduk berseberangan dengan Tiger berdecak lidah pada cowok itu. “Yang ditanyain kan bukan kamu? Una-nya aja gak masalah,” katanya. Lalu dia melemparkan pandangannya pada Runa yang tersenyum dengan ramah.
“Nama saya Runa, kak,” tampik Runa.
“Tau. Tapi Tiger panggil kamu Una. Boleh aku panggil Una aja?”
Refleks, Runa bergeleng.
“Jadi hanya Tiger yang boleh panggil kamu Una?” Bibir Anggun melengkung tersenyum.
Bola mata Runa mengarah ke atas, berpikir. Dia diam selama lima detik penuh sebelum akhirnya menjawab, “Iya, kak.”
“Cieeee.....” Semua kembali menyoraki mereka.
“Udah, kalian pisah meja aja, jangan di sini!” Sorak Eddy, anggota klub yang duduk terpisah satu kursi dari Tiger.
Runa langsung mengernyit dan berbisik pada Tiger, “Mereka ini kenapa? Memangnya salah kalau hanya kamu yang boleh panggil aku Una?” Mereka teman masa kecil jadi wajar saja, pikir Runa.
Tiger mendesah tawa mendengar pertanyaan cewek itu. Dia tak mampu menyembunyikan kebahagiaan yang dia rasakan hanya karena satu hal sederhana. Dia menghusap lembut pucuk kepala Runa dengan tangan yang tadinya dia letakkan di sandaran kursi cewek itu. “Satu-satunya kesalahan kamu adalah enggak kasih aku peringatan tentang jawaban kamu ke Anggun,” balasnya dengan suara rendah.
Runa menengadah melirik Tiger, “Berarti aku beneran salah ngomong?”
Tiger menarik lengannya dari sandaran kursi Runa dan menarik hidung cewek itu, “Enggak, Una...” geramnya, “Kamu udah ngelakuin hal yang bikin aku bahagia,” tegasnya kemudian.
Perhatian orang-orang itu akhirnya beralih dari topik yang berhubungan dengan Tiger-Runa ke berita yang baru mereka dapat tadi pagi tentang Midoro, pelatih mereka, yang akan melakukan pesta pernikahan tiga bulan lagi. Calon istrinya adalah seorang pelatih dari klub lain yang diembel-embel sebagai saingan kuat mereka makanya topik itu lebih hangat dari seharusnya.
Pada saat itu seorang pramusaji menghampiri Tiger dan meletakkan secangkir cappuccino panas di hadapannya. Tiger menyesap cappuccinonya yang masih hangat sementara Runa mengeluarkan brosur pemberian Cindy dari tasnya.
Runa meletakkan kertas itu di atas meja, di tengah-tengah dia dan Tiger. “Kamu bisa bantu aku?” katanya.
Tiger meletakkan cangkir kopinya dan meraih kertas itu lalu membacanya dalam hati. Alisnya terangkat sesaat beberapa detik setelah membaca tulisan pada kertas itu. “Kamu mau kuliah di Tokyo?” tanyanya.
“Ada informasi apa di kertas itu?” Runa bertanya balik.
“Beasiswa di Raffles Tokyo,” jawab Tiger, mata Runa langsung menggeridip karena antusias. Tiger membalik kertas itu dan membaca halaman dua selama beberapa detik, “Di sini ada info pendaftaran dan persyaratan,” sambungnya kemudian.
“Habis dari sini kamu ada janji lain?”
Pertanyaan Runa membuat Tiger penasaran tentang apa yang diinginkan cewek itu kali ini. Dia mendesah dan pura-pura berpikir, sengaja ingin membuat Runa berharap cemas. “Aku ada janji,” jawabnya kemudian.
Tiger melirik Runa dari sudut matanya. Cewek itu cemberut. Dia menopang lengannya di atas meja dan menyesap Red Velvet Latte-nya dari pipet dengan satu hisapan panjang. Setelah satu tegukan penuh itu dia duduk bersandar dengan wajah mengarah pada Tiger, masih cemberut.
Pertahanan Tiger langsung roboh dalam waktu singkat. “Maksud aku, janji buat antar kamu sampai depan rumah kamu,” jujurnya akhirnya.
Runa menghisap bibir untuk menahan sebuah senyuman lebar, tapi gagal dan kini malah terkekeh. “Aku tau,” ucapnya.
Tiger mengerutkan alis.
“Mana mungkin kamu biarin aku pulang sendirian? Kelihatannya acara kalian di sini masih lama, sekarang udah hampir jam enam, perjalanan ke rumahku paling cepat butuh waktu empat puluh menit, dan menurut ramalanku kamu menghindari keluar rumah di jam malam supaya punya cukup energi buat olahraga pagi dan latihan tenis dengan ekstrim.”
“Sejak kapan kamu berubah jadi Mama Lauren?”
Runa menyipitkan mata padanya, “Sejak kamu bertekad untuk bikin aku penasaran. Aku benci rasa penasaran.”
Tiger menghela napas. Dia bertopang siku di atas meja dan memangku rahangnya di telapak tangan, “Aku kalah,” ujarnya, mengarahkan wajah pada Runa.
Runa tertawa. “Kamu pikir ini kompetisi?” ujarnya.
Tiger menegakkan tubuh. Satu tangan di atas meja dan satunya lagi memegang ujung sandaran kursi Runa dengan tubuh sedikit diarahkan ke arah gadis itu, “Dalam hidup ini ada menang-kalah yang lebih menegangkan dibanding kompetisi,” sergahnya.
“Contohnya memenangkan ketakutan melawan Marine Bridge?” gurau Runa.
“Itu salah satunya,” balas Tiger bergurau walau melewati Marine Bridge bukan apa-apa baginya. Bagaimana pun menyatakan isi hatinya sekarang bukanlah waktu yang tepat. Dia akan langsung ditolak mentah-mentah.
“Siapa pun yang lolos sampai babak semifinal Youth Olympic akan kutraktis sepuasnya selama tiga bulan di kafe ini!” seru Eddy saat fokus pembicaraan mereka kembali tentang Youth Olympic.
“Apa gak ada tawaran lebih menarik? Mana ada orang yang betah makan makanan dari satu restoran yang sama selama tiga bulan?” sela Juri dari tempatnya.
“Kalau gitu kubeliin motor baru!” sambat Eddy.
“Serius?” Juri mulai tertarik.