Hari ini papa berangkat kerja lebih awal dari biasanya. Sepulangnya aku dari lari pagi, mobil papa sudah tidak kelihatan. Jangan kaget saat kukatakan lari pagi. Gurauanku pada Tiger soal menjaga kesehatan tiba-tiba kuanggap serius. Tapi hal ini juga tidak terjadi begitu saja. Tepat jam tujuh pagi tadi tiba-tiba pesan teks Tiger masuk bersamaan dengan foto pemandangan langit di taman dekat rumahnya.
“Selamat pagi, sleepiest girl in town. Jangan sia-siakan matahari pagi ini.”
Dengan ajaibnya pesan itu membangunkanku sampai ke bagian termalas dalam tubuhku. Jam tujuh sebenarnya tidak terlalu pagi, banyak anak perempuan lain yang sudah bangun dan menyelesaikan daftar aktifitas paginya di jam segitu. Tapi untuk seorang Runa Prameswari hal seperti itu adalah keajaiban dunia. Mamaku saja sampai tersedak kopi saat menyaksikanku berlalu dengan pakaian olahraga.
Aktifitas lari pagiku tidak berjalan lama. Hanya berkeliling komplek sebanyak satu kali. Tapi, begitu saja sudah membuatku mandi keringat. Aku memasuki dapur dengan tenggorokan kering. Mama sedang menimbang tepung terigu di meja dapur.
“Tanggal kadaluarsanya udah dekat. Kamu gak mau bikin biskuit lagi?” tawar mama.
Aku menghampiri mama dengan tangan memegangi gelas berisi air putih. Ada banyak tepung tak terpakai yang sedang mama timbang, hampir tiga kilogram. “Kapan tanggal kadaluarsanya ma?” tanyaku.
“Dua bulan lagi,” jawab mama, dan kini beralih ke lemari pendingin, memeriksa isinya.
“Oke. Nanti Runa cari-cari resep baru,” kataku.
“Sebentar lagi Kak Aldi pulang. Bakalan pas banget kamu kasih dia sambutan pakai nastar kesukaannya.”
Aku menatap mama dengan mata disipitkan, “Mama pikir ini hari raya?”
“Memangnya harus hari raya baru bisa makan nastar?”
Aku merengut. Untuk urusan Kak Aldi saja, mama langsung tau semua yang diinginkannya.
Mama kembali ke meja dapur dan berdiri di sampingku dengan tangan membawa sekotak susu segar. “Nih! Udah mau kadaluarsa,” ujar mama sembari menyerahkan susu itu ke arahku.
Aku membelalak pada mama, “Mama pikir Runa tong sampah?”
“Kenapa? Kamu diet? Makanya bela-belain lari pagi?”
Aku mendesah tawa, tapi susu itu kuminum juga.
“Jadi, siapa yang bikin kamu semangat bangun pagi?” tanya mama tiba-tiba, berhasil membuatku hampir tersedak.
Aku menghusap susu yang membasahi pinggiran mulutku dengan tissue yang kuambil dari meja dapur. “Matahari pagi,” jawabku singkat.
Kudengar dengan jelas kekehan tak percaya mama dan aku tidak mau memperpanjang dialog kami soal itu. Aku berputar menyeberangi meja dapur dan duduk di kursi yang terletak di seberang mama. Selama lima menit penuh aku berdiam diri mengamati mamaku yang sibuk sendiri, mondar-mandir antara lemari pendingin dan meja dapur untuk memeriksa tanggal kadaluarsa semua produk makanan yang kami simpan. Papaku yang berpendirian keras sedang tidak ada. Sepertinya sekarang waktu yang tepat untuk bekerjasama dengan mamaku.
“Ma,” panggilku, mama melirik sedetik.
“Kenapa?” sahutnya.
“Runa mau ngomongin tentang jurusan,” kataku.
Mama langsung meletakkan tomat dari tangannya dan berdiri tegak di depanku. “Kamu udah tau mau ambil apa?”
Aku mengerutkan batang hidung, “Udah, tapi...” aku tidak berani melanjutkan.
Mama mengangkat alis karena penasaran. Membahas masa depan dengan orangtuaku seperti ini bukan hal yang normal kulakukan. Biasanya aku selalu menghindar kalau pembicaraan di rumah kami sudah menjuru ke arah sana. Bagaimana pun sejak dulu aku sudah tahu kalau papaku tidak suka aku ingin menggeluti bidang seni.
Aku menghela napas untuk membulatkan tekadku. Hari ini aku harus memberitahu mama. Jika ada orang yang bisa membantuku melelehkan hati papa, mama lah orangnya.
“Runa kepengin ambil jurusan desain busana, ma.”
Kalimatku membuat mama bergeming. Aku tahu ini bukan informasi yang mama sukai. Menjadi perancang busana bukan sesuatu yang bisa kau dapat hanya dengan bantuan ijazah. Banyak perancang busana Indonesia yang lahir dari jurusan di luar seni. Dan salah satu tantangan lain adalah biaya kuliah dan praktiknya yang sangat mahal.
Kini giliran mama yang menghela napas panjang. Lalu mama berjalan mengitari meja dapur dan duduk di sampingku. Ada kekhawatiran yang terpancar di matanya. “Dulu sewaktu muda papa kamu bercita-cita jadi penyanyi,” kata mama.
Aku membelalak, informasi semacam itu tak pernah kuduga sepanjang hidupku. Memang, papa punya suara yang bagus. Tapi dia sangat ketat kalau soal pekerjaan, makanya papa mendapat jabatan yang bagus di tempatnya bekerja.
“Tapi papa kamu menyerah setelah mama hamil Kak Aldi. Menurut papa, kalau saat itu dia masih terus memperjuangkan impiannya jadi penyanyi, mama masih harus bekerja jadi buruh pabrik. Keluarga kita akan kesulitan karena hanya mama yang punya penghasilan tetap,” jelas mama kemudian.
Bola mataku menunduk ke bawah. Pantas saja papa selalu melarangku ikut kursus seni walau aku meminta sampai menangis darah. Papa tidak ingin aku merasakan kesulitan mendapatkan uang di masa depan. Mendengar penjelasan mama membuatku semakin berat hati.
“Tapi mama akan bantu ngomong ke papa kamu,” kata mamaku.
Bagai sihir, kalimat mama membuat dadaku bergejolak akan rasa semangat. Aku memberanikan diri menatap mata mama yang memandangku dengan iba. Aku merasa mataku mulai basah dan airmata akan segera turun, tapi aku tidak mau menyembunyikan airmata bahagia itu dari mama jika dia benar-benar akan turun.
“Gimana pun, mama bangga lihat anak mama yang punya mimpi sendiri dan siap berjuang untuk itu,” kata mama, “Tapi tunggu dulu. Kamu memang udah siap berjuang?” lanjutnya.
Airmataku lolos begitu saja dan aku menjawab dengan anggukan. Mama tersenyum dan menghapus airmataku dengan punggung tangannya dengan gerakan asal-asalan, “Aih, pake nangis segala,” keluhnya. Tapi di balik sifat ketusnya aku bisa merasakan betapa besar kasih mama yang tulus padaku.
Aku melilit tubuh mamaku dengan pelukan erat, dan mama jadi tertawa. Untuk pertama kalinya mama tidak cerewet menyuruhku mandi walau aku memeluknya dengan tubuh berkeringat.
****
“Semuanya terjadi gitu aja. Kak Juri ninggaglin prom sekolah dan nemuin aku di depan gedung bimbelku. Di sana dia kasih aku buku terbaru karya Jordan Peterson dan bilang kalau aku terima dia jadi pacarnya, aku ambil buku itu, kalau aku gak terima, aku harus buang buku itu. Ya udah, aku ambil bukunya.” Mika menjelaskan kronologi bagaimana dia bisa berakhir pacaran dengan Kak Juri saat kami sudah berkumpul di teras rumahnya.
“Tapi kamu bukan ambil buku itu semata-mata karena pengin baca, kan?” sergah Riana mempelototi Mika yang duduk di tengah-tengah kami.
Mika bergeleng dengan pasti, “Koleksi buku Jordan Peterson-ku lengkap. Tapi aku suka cara dia nembak aku,” jawabnya.
Asisten rumah tangga keluarga Mika keluar dari pintu masuk rumah dan menjamu kami dengan teh manis dingin dan setoples kue kering yang kemudian dia letakkan di meja di depan kami. Kami berterimakasih padanya dan kembali fokus pada cerita kami.
“Ngomong-ngomong, makasih udah mau datang ke rumahku. Kalau cuma berdu...” Mika melirik pintu rumahnya seolah takut seseorang mendengarnya lalu melanjutkan ucapannya yang sempat terpotong dengan nada berbisik, “Kalau Cuma berdua, leherku bisa digorok,” ucapnya.
Spontan, aku dan Riana tertawa.
“Gimana hubungan kamu sama Gibran?” tanya Riana, membuatku berhenti tersenyum.
“Kami udah putus,” jawabku.
Kini aku yang dapat pelototan dari kedua temanku itu. Miris sekali rasanya. Yang satu patah hati, yang satu sedang berbunga-bunganya.
“Serius? Siapa yang mutusin?” sergah Riana.
Aku mengernyit dan memikirkan jawaban itu sambil memandangi pergelangan tanganku yang sudah tidak memakai gelang pemberian Gibran. “Gak ada kata-kata putus. Tiba-tiba kami udah sibuk dengan kehidupan masing-masing,” jawabku.
Kedua tangan Riana mendarat di pipiku dan mengangkat wajahku untuk menatap langsung wajahnya yang masih tampak kaget itu. “Mana ada cerita putus tanpa ada kata-kata putus begitu? Kamu gila, ya? Gimana kalau dia enggak tau kalau kalian udah putus?”
Jantungku tersentak.
Mika melirikku dengan dahi berkerut, “Aku gak tahu kalau ternyata kamu cewek brengsek. Gimana pun kamu harus tetap kasih tau dia, kan?” celanya tanpa basa-basi.
Riana sendiri kaget mendengar perkataan itu keluar dari mulut Mika. Pelan-pelan dia melepaskan tangannya dari wajahku dan memandangi wajah Mika sambil menggigit bibir.
“Kamu salah paham. Dia sendiri gak pernah menghubungi aku tapi malah sibuk dengan cewek barunya di sana. Buat apa aku harus repot-repot ngasih tau dia kalau kami udah putus? Aku juga ragu kalau selama ini dia anggap aku pacarnya? Dalam satu bulan, belum tentu dia mempedulikan aku satu kali aja. Padahal sebelum berangkat ke California dia janji akan hubungin aku tiap hari,” dalihku.
Riana menatapku dengan iba. “Benar juga. Jangan pikirin dia lagi! Sejak awal aku tahu dia akan bikin kamu patah hati,” katanya.
Mika mengernyit, “Sejak kapan?” tanyanya.
Riana menempelkan ibu jarinya di bibir merah Mika. “Kamu gak perlu tau soal itu. Yang perlu kamu tau adalah saat seorang sahabat kita baru putus dari seorang cowok, tugas kita adalah mencaci cowok itu di depannya,” ujarnya.
“Sungguh penjelasan yang sangat masuk akal,” timpal Mika, sarkas.
Riana memutar bola mata sambil senyum angkuh. Kembali dia melirikku, “Trus?” katanya.
Aku mengangkat alis.
“Kamu udah move on? Atau masih fase galau-galaunya?” tanya Riana.
Aku memikirkan jawaban atas pertanyaan Riana selama beberapa detik. Anehnya aku baik-baik saja. Syukurnya aku baik-baik saja. Mungkin karena Tiger selalu berada di sisiku melewatinya. Oh, mengingat nama Tiger saja entah kenapa aku jadi senyum sendiri.
“Kamu jatuh cinta secepat kilat ke orang lain?” ujar Mika, jantungku melompat mendengarnya.
Riana mengerjap, “Sama siapa?”
“Siapa yang jatuh cinta coba? Aku cuma teringat sama seorang teman baik,” dalihku.
Serempak, Riana dan Mika saling bertatapan satu sama lain lalu melirikku.
Riana manggut-manggut, “Oke, oke. Teman. Siapa?” katanya.
Senyumanku semakin lebar. Mulutku gatal ingin menyebut nama Tiger, tapi mengingat dia itu alumni populer yang selalu menjadi berita heboh, aku menelan namanya bulat-bulat. “Gak penting. Cuma teman masa kecil. Aku kepikiran aja apa jadinya kalau kami ketemu kembali lebih cepat. Mungkin aku bakalan jatuh...”