Aku, mama dan papa berlari dengan gelisah mengitari koridor rumah sakit menuju ruang tunggu UGD. Sekitar satu jam kemudian seorang dokter keluar dan membawa orangtuaku untuk berbicara di ruangannya.
Setelahnya aku menunggu di ruang tunggu. Menurut pesan antara mama dan Tante Mayka yang kubaca di ponsel mama, Tante Mayka menaiki pesawat yang berangkat jam sepuluh pagi tadi ke Tokyo untuk menjumpai Kak Leon. Aku mencari di internet lama penerbangan dari Semarang ke Tokyo. Beragam, dari lima belas jam sampai dua puluh lima jam.
Lalu aku kembali membuka daftar kontak mama, kali ini memanggil Kak Aldi. Tak butuh waktu lama. Hanya dua kali berdering, teleponku diangkat.
“Halo, ma?” sapa Kak Aldi dari ujung sana.
“Kak...” suaraku bergetar.
“Runa? Kenapa, Run?”
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Kakak ingat Tiger adiknya Kak Leon?”
“Ingat. Kenapa?”
Tiba-tiba saja air mata lolos di pipiku. Sebenarnya aku merasa tidak sanggup berbicara, tapi aku harus menyampaikan berita ini pada Kak Aldi agar dia bisa membantuku. “Tiger kecelakaan, kak. Ditabrak mobil lain yang ugal-ugalan. Kondisinya parah banget. Katanya korban yang lain ada yang meninggal. Tante Mayka gak bisa dihubungi dan kami gak punya nomornya Kak Leon.”
Kak Aldi terdiam sejenak sementara aku menangis tersedu-sedu. Jujur, aku tidak tahu entah dia bisa mencerna setiap kalimatku atau tidak. Saat ini suara tangisanku lebih mendominasi ketimbang omonganku. Bahkan tanganku gemetaran hingga ponsel di telingaku ikut bergoyang-goyang, tidak stabil.
“Runa tenang dulu. Tarik napas dalam-dalam.” kata Kak Aldi dari ujung sana. Aku mencoba melakukan seperti arahannya tapi tetap saja diri ini tidak bisa tenang. “Kakak akan suruh Leon hubungi ke nomor mama. Mama di mana?” sambung Kak Aldi.
Aku tidak langsung menjawab. Lebih dulu aku harus mengatur napas atau Kak Aldi tidak akan bisa menerjemahkan kata-kata yang keluar dari mulutku. “Papa sama mama lagi di ruangan dokternya.” jawabku.
“Oke. Kamu harus tetap tenang, oke? Minum air sekarang!”
Aku beranjak ke arah dispenser dan mengambil air putih lalu meneguknya.
“Udah?” tanya Kak Aldi kemudian.
“Udah.”
“Sebentar lagi kakak hubungin kamu lagi. Apa nama rumah sakitnya?”
****
Papa dan mama menghampiriku. Di detik aku melihat kedatangan mereka, aku langsung mengerjap mendekati mereka.
“Gimana keadaan Tiger, ma?” tanyaku ke mama. Mama berjalan melaluiku dan mendekati Tiger.
Aku melirik papa dan siap untuk bertanya tapi papa buru-buru menghardik. “Dia akan baik-baik aja. Ayo papa antar kamu sama mama pulang dulu.”
“Jangan, pa. Kalau Tiger udah dipindah ke rawat inap, Runa mau jagain Tiger. Dulu juga waktu Runa sakit, Tiger yang jagain Runa di rumah sakit.” tolakku.
“Waktu itu kan kalian sedang berdua aja. Sekarang ada orangtua. Kamu istirahat di rumah, nanti papa sama mama gantian jagain Tiger.”
Aku berat hati. Tapi setiap keputusan yang keluar dari papaku selalu tak terbantahkan. Tidak ada yang bisa melawan papa, mama pun tidak bisa.
****
Aku benar-benar tidak bisa tidur sepanjang malam. Sarapan pun tidak selera. Satu-satunya yang ingin kulakukan hanya melihat Tiger dan memastikan sendiri keadaannya. Kalau bukan karena mama yang memaksaku makan mungkin perutku akan kubiarkan kosong. Bisa kulihat kekhawatiran yang luar biasa pula dari wajah mama. Tapi kami sama-sama belum mendapat kabar dari papa jadi harus bersabar sampai kembali ke Rumah Sakit pada jam besuk.
Kami tiba di rumah sakit jam sepuluh kurang. Jam besuk sebenarnya dimulai jam sepuluh pas, tapi untungnya kami diijinkan masuk. Papa sudah mengirimkan nama ruang rawat inap Tiger ke mama. Letaknya di lantai lima. Kami naik dengan lift, dalam hati sama-sama merasa kacau.
Menurut informasi yang papa terima dari kepolisian mobil Tiger ditabrak dari belakang oleh pengemudi yang sedang mabuk dan terjadilah kecelakaan beruntun. Pelakunya kini sedang diproses secara hukum. Aku merasakan penyesalan yang sangat besar karena telah mengusir Tiger malam itu. Andai saja dia mengikuti ajakan papa untuk mampir, mungkin hal buruk seperti ini tidak akan menimpanya.
Langkahku dan mama terburu-buru. Barang bawaan kami lumayan banyak karena nanti papa akan menginap lagi, tapi semua terasa ringan di tangan ini. Yang berat hanya dadaku. Aku takut. Walau papa bilang Tiger baik-baik saja, aku takut.