Aku melambaikan tangan ke arah teman-teman kami yang berhamburan meninggalkan rumah Tiger lebih dulu. Hari ini Kak Juri berbaik hati menawarkan Riana ikut dalam mobilnya untuk diantar pulang. Sebenarnya aku juga diajak, tapi aku tidak mau buru-buru pergi. Aku ingin membantu Mba Nisah, orang yang akan membersihkan kekacauan yang telah kami ciptakan di atas. Lagipula aku butuh sedikit kegiatan untuk membantuku menerima kekalahanku hari ini. Sudah sok keren, membuat janji kemenangan di hadapan Tiger, tapi aku malah dikalahkan dengan mudahnya di babak akhir.
Sesudah mereka semua berlalu dari halaman depan rumah Tiger, aku menutup pintu rumah mereka. Tiger yang hanya duduk di kursi roda tidak akan bisa mengerjakan hal sesederhana itu.
“Una, kan aku udah bilang, kamu pulang aja,” bujuk Tiger.
Aku meraih gagang pegangan kursi roda Tiger dari belakangnya dan berjalan mendorongnya memasuki rumah lebih dalam. “Jangan. Gak enak sama Mba Nisah. Kamu lihat sendiri tadi gimana di loteng?”
“Tapi aku gak bisa ke atas buat bantuin kamu,” selanya.
Aku tertawa dalam hati. “Enggak semua hal tentangku harus kamu bantuin.”
Tiger meraih tangan kiriku dan menarikku ke sampingnya. Pucuk kepalanya hanya sedadaku saat sedang duduk di kursi roda itu dan dia harus menengadah untuk melihat wajahku. “Aku juga lagi gak bisa antar kamu pulang, ada ahli terapi tulang yang lagi nungguin aku.”
“Aku tau,” selaku. Aku menyaksikan sendiri saat Tante Mayka datang ke loteng dan memberi tahu Tiger kalau terapisnya sudah datang. “Kamu jangan khawatir, kan ada taksi online?” dalihku kemudian.
Tiger menyandarkan kepalanya di sandaran kursi dengan pasrah. “Walau aku lagi lemah gak berdaya gini, kamu gak mau mengurangi sifat keras kepala kamu demi kelancaran proses penyembuhanku?” lirihnya.
Aku bergeleng kepala. “Sifat yang satu ini nurun dari papa, agak susah,” sahutku dengan nada tertawa.
Tiger akhirnya mendesah tawa. Dia menempelkan telapak tanganku di pipinya, jari-jariku bisa merasakan daun telinganya hampir membeku. Ah, sepertinya kondisi tubuhnya sedang tidak baik. Lingkaran di sekitar bola matanya juga berteriak memberitahuku kalau dia sedang butuh istirahat.
“Hari ini bukan cuma kamu yang udah nyiapin surprise. Ada sesuatu yang nunggu kamu di rumah kamu,” ucapnya.
Mataku menggeridip, “Apa?”
“Mana ada surprise pakai spoiler,” sahutnya.
Aku mengerutkan bibir, cemberut.
“Dan...” Perkataan Tiger tertahan. Dia menarik tanganku dari wajahnya dan memperhatikan kuku jari-jariku sambil menghusap punggung tanganku dengan ibu jarinya. Lalu Tiger menatapku dari balik bulu matanya, “Bagiku, hari ini kamu pemenangnya. Jadi jangan kecewa dan kamu harus pulang dengan tenang.”
Apakah Tiger itu seorang pembaca pikiran? Kenapa menebak isi kepalaku bukan hal sulit baginya? Ah, tidak setiap saat, sih. Ada kalanya dia benar-benar payah dalam hal itu, contohnya saat insiden kencan ganda dengan Cindy dan Brandon itu. Atau sebenarnya dia memang punya kemampuan menghipnotis? Setiap kata dari mulutnya terdengar seperti bujuk rayu dan aku tak punya kuasa menolak.
“Kasih tau aku kalau kamu udah sampai rumah,” pintanya.
Aku berdecak walau hatiku bahagia karena mendengar permintaannya, “Aku ini udah tujuh belas tahun, sebentar lagi delapan belas. Aku bisa pulang-pergi sendirian,” aku menggerutu.
“Justru itu masalahnya, Una. Kamu perempuan tujuh belas tahun paling cantik di Kota Semarang. Wajar kalau aku sedikit protektif,” sahutnya.
Aku terkekeh. Jantungku selalu melonjak tak karuan dibuat cowok satu itu. Tiger melepaskan tanganku dan mengambil ponselnya dari saku celana. “Aku pesan taksi buat kamu sekarang, ya,” ucapnya meminta ijin walau aku tahu dia tidak akan menerima jawaban ‘tidak’.
****
Taksi pesanan Tiger tiba kurang dari lima menit setelah dia memesannya. Sebenarnya aku masih belum mau pulang. Sekarang masih sore, seharusnya mama tidak akan mempermasalahkan aku di rumah Tiger sampai malam tiba. Satu-satunya alasan yang bisa membujukku pulang adalah kekhawatiran Tiger padaku. Dia sudah kelihatan lelah dan sesampai di rumah kami malah tidak memberinya waktu istirahat. Aku tidak ingin menjadi beban tambahan baginya.
“Neng terburu-buru atau mau santai?” tanya supir taksi saat mobilnya melaju.
Aku bersandar pada sandaran bangku mobil dan melirik rumah-rumah yang kami lewati sambil menjawab, “Kalau bisa cepat lebih baik, pak.”
Aku tidak sabar ingin melihat kejutan apa yang sudah Tiger siapkan buatku.
****
Perjalanan dengan taksi ini terasa sangat lambat, mungkin karena aku tidak sabar sampai rumah. Aku membuka layar ponsel baruku saat taksi masuk melewati gerbang komplek rumah untuk mengintip sekarang sudah jam berapa, ternyata baru jam lima lewat lima puluh. Tidak sampai setengah jam perjalanan.
Aku menyentuh layar ponselku dan membuka grup antara aku, Riana dan Mika yang punya seratus tiga puluh pesan baru. Oh, seperti biasa Riana sangat bisa diandalkan kalau urusan potret-memotret. Lihat saja, dia berhasil menjepret setiap momen pada acara kami tadi.
“Kok aku lupa minta kalian gantian fotoin aku?” tulis Riana di grup itu lalu disusul stiker anak anjing sedang menangis.
“Gak ada juga yang minta kamu fotoin kita.” Balasan Mika ketus seperti biasa.
“Rumahnya nomor berapa neng?” tanya pak Supir.
“Delapan F, pak,” jawabku sambil mengetik pesan di grup kami.
“Palingan foto selfie kamu di sepanjang acara juga udah banyak,” tulisku.
“Udah sampai, neng.” Suara Pak Supir menyadarkanku kalau taksi ini sudah berhenti bergerak.
Aku membuka tas lalu merogoh isi dompetku, “Berapa, pak?” tanyaku.
“Udah dibayar, neng,” jawabnya.
Oh. Bukankah Tiger tidak pernah memakai jasa taksi online? Jangan bilang dia mengisi saldo aplikasi itu hanya untukku? Aku jadi bertanya dalam hati, sebenarnya sejauh apa dia selalu memikirkan tentangku?
Aku berterimakasih pada Pak Supir lalu turun dari taksi. Segera Pak Supir meninggalkanku dan aku menghampiri gerbang rumahku. Aku membuka kunci pagar rumah, tapi tiba-tiba sebuah tangan menarik lenganku dan refleks aku menghempaskan tangan itu dan melirik pemiliknya.
Gibran.
Waktu terasa berhenti berputar. Langit jingga di atas sana tampak gelap. Paru-paruku bagai kehabisan udara menyaksikan kehadirannya. Gibran menatapku dengan mata bengkak dan basah. Sesuatu yang buruk telah terjadi padanya, aku yakin sejuta persen. Tapi, kenapa sekarang?
“Ka-kamu ngapain?” Aku yakin, dia bisa tahu kalau aku sedang tidak mengharapkan kedatangannya.
“Nomor kamu gak aktif berhari-hari.” Kalimat itu tidak menjawab pertanyaanku.
“Aku ganti handphone,” jawabku dengan nada ketus. Tapi dada ini terasa sakit memikirkan betapa dulu aku akan melakukan apa pun agar bisa mendengar suaranya walau hanya lewat telepon.
Gibran menghela napas panjang. Dia melirik ke pintu rumahku yang tertutup rapat—mungkin hanya supaya dia bisa mengalihkan pandangannya dariku. Bibirnya bergetar, dia menggigitnya untuk menahannya namun getaran itu kini berpindah ke otot rahangnya.
Tepat seperti kata Tiger, aku tidak punya waktu untuk cowok brengsek. Aku memutar tubuhku, mengabaikannya, ingin masuk ke rumahku secepatnya. Gibran sedang punya masalah besar yang membuatnya tampak berantakan seperti itu, aku tahu, tapi aku tidak perlu tahu penyebabnya.
“Rilke meninggal,” katanya.
Tubuhku membeku.
“Karena kecelakaan. Udah seminggu,” lanjutnya.
Tanganku melemas dan kunci rumahku lolos dari genggamanku.
Terdengar isakan tangis Gibran yang ditahannya saat dia berkata, “Kamu ke mana aja?”
****
Aku dan Gibran duduk di bangku yang terbuat dari semen yang mengelilingi sebuah pohon besar di tengah Taman Srigunting. Lampu berlengan dua di belakang kami sesekali redup memberitahu sudah saatnya bola lampunya diganti. Kesadaranku dari lamunan selalu kembali bersama redup-nyalanya lampu. Namun seperti Gibran yang mematung bagai tanpa nyawa, aku pun tak berkutik.
Rilke masih sangat kecil. Dia bagai malaikat kecil yang memberi semangat pada keluarga Gibran yang merasa malang semenjak kepergian ibu Gibran.
Gibran merogoh saku celananya. Sebuah kertas yang dilipat seukuran lima kali sepuluh sentimeter dia keluarkan dari saku itu, lalu dia memberinya padaku.