“Runa Prameswari... Tiga kali kamu menghadiri acara OSPEK Gideon School dan tiga kali juga kamu telat?! Dan tahun ini kamu telat dari OSPEK hari pertama dan hari ketiga ini?! Telat itu hobimu?!” pekikan Bu Gita, guru BP sekolah kami sekali lagi membuat gendang telingaku mendengung. Aku sudah sering mendengar omelannya—sampai-sampai dia hapal namaku, tapi tidak pernah terbiasa dengan teriakan yang keluar dari suara melengkingnya itu.
“Maaf, bu,” sesalku dengan wajah menunduk, memelas.
Bu Gita bersedekap seraya menghela napas panjang. Cuaca pagi ini sangat terik. Keringatnya bercucuran dan pasti sudah tidak sabar ingin meninggalkan gerbang sekolah kami ini dan masuk kantornya. Sialnya hari ini hanya aku sendiri yang terlambat. Entah hukuman apa yang menantiku.
“Ya sudah, masuk aja!” sergahnya.
Aku mengangkat wajah, melirik wajah chubby Bu Gita sambil tersenyum cerah. “Makasih, bu!”
“Ke ruang kostum,” katanya.
Aku mengernyit, “Ruang kostum itu yang mana ya, bu?”
Bu Gita melototiku dan matanya yang mengenakan kontak lens berwarna keabuan jadi tampak menyeramkan, aku jadi lupa bernafas selama tiga detik.
“Tahun ketiga di sekolah ini dan gak tau yang mana ruang kostum? Kamu bercanda?” Pekiknya, aku menjawab dengan gelengan kepala. “Cari anak ekskul teater dan tanya mereka!” suruhnya.
Aku mengangguk dengan cepat dan melangkah hendak pamit, tapi teringat akan sesuatu. “Setelah sampai di ruang kostum, saya mau bersihin apa ya, bu?” tanyaku.
“Yang bilang kamu mau bersih-bersih siapa?” sergah Bu Gita, aku mengernyit bingung lagi, dan “Kamu pakai maskot sekolah kita dan terima tamu pas acara pentas penutupan OSPEK nanti!”
Dewi kesialan memang sangat menyukaiku.
****
Aku selalu mengagumi betapa menggemaskannya maskot sekolah kami hingga hari ini di mana kekagumanku beralih menjadi umpatan. Menyerupai burung kuntul perak khas Semarang, semuanya berwarna putih kecuali bagian moncong dan kaki yang berwarna kuning. Bagian lengan kostum diberi rumbai-rumbai menyerupai sayap burung, tanganku sulit bergerak karena sayap ini. Bagian kepala dibuat besar, dengan mata besar dan moncong melengkung tersenyum agar terlihat menggemaskan, dan sungguh sangat tidak nyaman berada di dalamnya. Wajahku keringatan tapi tidak bisa kuseka. Aku jadi malas minum karena membuka-pasang topeng maskot dengan tangan berumbai ini sangat merepotkan. Oh, belum lagi rok birunya yang mengembang di bawah baju tanpa lengan. Hari ini, demi apa pun, aku berjanji pada diri sendiri tidak akan pernah telat lagi.
Sekarang sudah lewat tengah hari. Matahari semakin terik saja tapi aku masih harus menjalani hukumanku. Tebakanku, nanti malam akan hujan—biasanya seperti itu kalau panasnya cuaca sudah separah ini—yang mengingatkanku kalau nanti malam akan ada pelepasan lampion seperti tahun-tahun sebelumnya. Semoga saja hujan tidak membuat teman-teman yang jadi panitia acara OSPEK tahun ini jadi kecewa karena tidak bisa melepaskan ratusan lampion yang sudah mereka siapkan untuk acara penutupan malam ini.
Banyak alumni yang sudah mulai berdatangan. Aku menyapa mereka yang melalui gerbang dengan lambaian tangan. Beberapa alumni meminta foto bersama denganku, di saat seperti itu aku sedikit kesal karena terpaksa berpose walau sudah sangat lelah. Seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun menghampiriku setelah tiga orang kakak alumni selesai berfoto denganku.
“Kakak, boleh Joy foto sama kakak?” kata anak itu.
Aku mengacungkan jempol berbalut kostumku. Dia memanggil seseorang dari luar gerbang sekolah dengan lambaian tangan dan betapa kagetnya aku melihat dua orang yang berjalan bersamaan menjawab panggilan anak itu.
“Mau foto, ya?” Kak Juri menghampiri anak itu.
“Iya. Kakak ikut, ya?” pinta anak itu.
“Tolong ambilin fotoku sama Joy ya, bro,” kata Kak Juri, Tiger mengangguk dan kemudian berdiri dua meter di depanku dengan kakinya yang sudah sembuh.
Kak Juri dan Joy berdiri di samping kiri dan kananku, membuat pose, sementara Tiger mengeluarkan ponselnya. Tiger mengarahkan kameranya pada kami dan langsung menjepret tanpa aba-aba. Agaknya hal ini membuat Kak Juri sebal.
“Yang ikhlas dikit dong, bro. Pakai aba-aba, gitu,” keluh Kak Juri.
“Iya, iya...” sahut Tiger pasrah lalu mulai menghitung. “Satu, dua...”
Ponselku berbunyi. Perhatian Joy pecah dan dia menarik jumbai di lenganku. “Kakak, handphone kakak bunyi. Gak mau angkat dulu?” katanya.
Aku bergeleng padanya. Kalau kuangkat, aku harus buka topeng. Tiger tidak akan senang melihat wajahku setelah memintaku untuk musnah dari hadapannya. Tapi ponsel itu masih terus berdering jadi aku mengambilnya dari kantung yang ada di bagian perut baju badut lalu mensenyapkan suaranya.
“Electro itu siapa, kak?” kata Joy.
Aku melirik Joy dengan mata membelalak dari balik topeng. Dia menelengkan kepala mengamati bagian belakang ponselku yang menyimpan foto polaroid Electro dengan tulisan namanya di balik case transparan ponselku.
“Kura-kura kakak?” tanya anak itu.