HAL TERBEGO TENTANG CINTA

Chiklarasati
Chapter #26

ORBIT 25

Are you color blind?! Di paper kamu kasih keterangan warna Dark Green, tapi kain yang kamu jahit warna British Racing Green!” Suara melengking Miss Yola berhasil membuat telingaku berdengung, lagi-lagi.

“Maaf miss,” ucapku pasrah. Sudah lima bulan kursus di Raffles Academy tapi masih kesulitan membedakan warna dari satu palet yang sama, apalagi mengingat kodenya.

Miss Yola bersedekap sambil mengamati dress berwarna “British Racing Green” buatanku yang dipakaiian pada manequin sekali lagi. Aku berdiri di belakangnya mengamati tubuh ramping setinggi seratus delapan puluh sentimeter itu dari belakang. Sepintas pikiranku jadi teralihkan, mengagumi rambut bercat blondenya yang indah. Dengar-dengar dulu Miss Yola seorang model tapi kemudian lulus jurusan desain busana dan sekarang sudah punya beberapa butik.

I don’t like mistakes but I love your dress,” nilainya sambil mengangguk.

Aku tersenyum lega. Dress itu adalah tugas dari satu bulan lalu. Aku sangat kesulitan mengatur waktu untuk menyelesaikannya karena sistem belajar untuk anak kelas tiga di sekolah ternyata lebih ketat ketimbang saat masih kelas dua dulu.

Miss Yola menoleh ke arahku dengan mata menyipit—menatapku tajam, spontan senyumku musnah membayangkan dia akan meneriakiku dengan suara lengking itu lagi. “But still I don’t like mistakes,” ucapnya.

Wanita itu mengamati croquis book milikku pada lembaran yang terdapat yang dipeganginya sejak tadi sekali lagi. Diam-diam aku sudah menyiapkan diri untuk dicelotehin lagi olehnya. “As I remember, kamu mengajukan permohonan beasiswa di Raffles Tokyo?”

Sebenarnya aku tidak perlu berpikir untuk menjawab. Tapi jantungku selalu melompat setiap mendengar kata Tokyo disebutkan oleh seseorang. Aku diam tiga detik sebelum menjawab, “Iya, miss.”

“Temui saya besok sebelum kelas dimulai,” kata Miss Yola, lalu lekas meninggalkan ruangan kelas sebelum aku sempat menjawab.

Sementara aku gelisah menerka apa yang ingin disampaikan Miss Yola padaku besok, Julia—murid lain di kelas kami dan sekaligus teman baruku menghampiriku dengan senyum cerah. “Miss Yola suka kamu,” kata Julia.

Aku mengernyit padanya, “Dia membentakku tiap hari,” sergahku lalu melepaskan risleting di bagian belakang gaun buatanku untuk melepasnya dari manequin.

Julia ikut melepas gaun merah muda karyanya dari manequin—sebuah gaun yang lebih bagus dibandingkan karya amatiranku, “Dia emang begitu kalau suka sama orang, dan jarang-jarang Miss Yola sekritis itu sama anak baru,” kata Julia.

“Mirip papaku,” sahutku dan kami terkekeh.

Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku mengambilnya dari saku dan membaca nama penelepon, ternyata itu telepon dari manusia paling terorganisir sedunia, Kak Aldi.

“Kenapa?” ucapku ketus begitu telepon itu kuangkat.

“Pulang jam berapa?” tanya Kak Aldi. Tebakanku adalah dia ingin menjemputku lagi malam ini. Kakakku memang selalu bisa diandalkan, itu yang paling kusuka setiap kali dia pulang ke rumah.

“Ini udah selesai. Kakak kok belum berangkat? Kakak pikir rumah kita dekat dari tempat kursus Runa?”

“Kakak cuma nanya kamu pulang jam berapa, jawabannya panjang amat,” gerutunya dari balik telepon.

Aku menjepit ponselku di antara bahu dan telinga, membebaskan tanganku agar bisa melipat gaun rancanganku dan memasukkannya kembali dalam totebag. “Lagian, kakak gak kasihan apa lihat anak gadis serapuh Runa nungguin kakak sendirian?” ucapku melebihkan.

“Memangnya kakak ada bilang kalau kakak belum sampai? Kakak udah di depan gedung Raffles, dan ada Boba Milk Tea nungguin kamu dalam mobil,” kata Kak Aldi.

Setelah mendengar ucapannya itu, aku langsung mematikan telepon dan membereskan barang-barangku secepat yang kubisa. Aku tidak suka jika es di boba-ku mencair terlalu banyak.

Ruangan kelas desain busana untuk pemula ada di lantai tiga gedung. Aku berlari menuruni lantai demi lantai agar sampai lebih cepat di mobil Kak Aldi dan dengan ajaibnya hanya butuh waktu dua menit bagiku untuk tiba di tujuanku dan duduk manis kursi penumpang depan.

“Boba Milk Tea?” Aku mengulurkan tangan pada Kak Aldi.

Kak Aldi menyerahkan sebuah cangkir plastik berukuran besar berisi Boba Milk Tea beliannya itu ke tanganku, “Kalau kena sogok aja, langsung cepat,” gerutunya.

Aku mengerutkan hidungku pada Kak Aldi sebagai bentuk perlawanan. Hal seperti ini sudah biasa terjadi di antara kami, jadi dia mengabaikanku dan memijak gas pada mobil.

Mobil kami melaju dengan cepat. Aku sudah lelah mengomentari cara mengemudi Kak Aldi setiap kali dijemputnya. Salah satu bakat terpendam kakakku itu adalah memotong jalan kendaraan-kendaraan lain dengan mulus namun liar, membuat siapa pun yang berada dalam mobil yang dikemudinya akan menanyakan keselamatan perjalanan mereka. Kak Aldi beruntung punya adik yang bisa menjaga bakat berbahayanya ini dari orangtua kami.

Harus kuakui kalau bakat kakakku bukan tidak berguna. Kami tiba di kafe The Jungle—kafe milik tante Mayka hanya dalam lima belas menit. Dengan lihai Kak Aldi berhasil merebut tempat parkir terakhir dari sebuah mobil yang sampai lebih dulu dari kami. Sekarang hari Jumat, wajar saja jika The Jungle penuh. Tempat itu sedang hits di kalangan dewasa muda. Jika bukan karena bantuan Tante Mayka mungkin kami tidak akan mendapatkan reservasi tanpa minimal pembelian di tempat ini.

“Kenapa gak bilang kalau kita mau nongkrong, kak? Runa sama sekali gak dandan, gak pede,” ucapku.

“Sengaja gak bilang. Kalau pakai dandan lagi, lama,” sahut Kak Aldi sambil membuka sabuk pengamannya.

Aku berdesis pelan, lalu mengacungkan cangkir boba-ku ke arahnya, “Trus kenapa dikasih boba? Kakak kan tau Runa lagi diet. Mau berapa banyak gula yang Runa konsumsi gara-gara kakak?” kataku.

“Ah, bawel. Mau diajak nongkrong gak, sih?” sergah Kak Aldi dengan alis mengernyit.

“Mau,” jawabku.

“Nah, gitu aja kok repot? Pantesan Tiger lari ke Jepang, capek ngadepin cewek modelan kamu.”

Aku memukul lengan berotot Kak Aldi sebanyak tiga kali. Terimakasih banyak buat mama yang berhasil menyebar gosip tentang hubunganku dengan Tiger, sebuah hubungan yang hanya ada dalam fantasi mama. Kak Aldi melarikan diri dari mobil sambil terkekeh puas. Tentu saja dia tahu kalau mama kami hanya asal sebut soal aku dan Tiger. Dia bisa menganalisa dengan mudah dari keseharianku yang tidak pernah berkomunikasi dengan siapa pun di telepon, dan aku terlalu sibuk untuk memikirkan hal lain semenjak kursus di Raffles.

Aku keluar dari mobil, menyusul Kak Aldi berjalan memasuki The Jungle. Penerima tamu menyambut kami dan mengarahkan ke meja yang sudah dipesan Kak Aldi. Kafe ini bertema taman. Di atap bagian dalam ruangan bergantungan dedaunan plastik, dindingnya gabungan dari kayu bervarnish dan kaca tembus pandang. Meja kami ada di area luar ruangan, di bagian belakang kafe. Di beberapa sisi terdapat pohon yang dihiasi lampu hias.

Lihat selengkapnya