Dingin. Itulah kesan pertamaku saat keluar dari kabin pesawat. Cuaca dingin jam lima pagi bersuhu lima derajat celsius menusuk melewati mantel tebalku. Total orang dalam rombongan kami ada sembilan orang. Tiga orang murid desain busana, tiga orang murid modeling, dan tiga orang guru pembimbing.
Saat kami tiba di arrival gate, Chauffeur dari Tokyo Raffles University sudah berdiri di tengah ramainya orang yang menunggu kedatangan penumpang pesawat lain membawa sebuah papan berukuran A4 bertuliskan “Raffles Academy”. Rombongan kami kemudian dibawa memasuki minibus milik Raffles meninggalkan Bandara Narita.
Perjalanan ke gedung utama Raffles memakan waktu tiga jam. Hampir tidak ada waktu istirahat sebelum acara dimulai jam sepuluh. Aku selalu kewalahan setiap dikejar wakatu dalam mengerjakan sesuatu, tapi untungnya Miss Yola adalah orang yang sangat terorganisir. Sewaktu di Indonesia dia mengarahkanku bagaimana cara menyimpan busana dan aksesoris untuk model kami dan di sini dia memberiku instruksi untuk bekerja lebih efektif. Kubulatkan tekad untuk belajar banyak darinya.
Perlombaan diselenggarakan di aula Tokyo Raffles University yang sudah didekorasi dengan hiasan berwarna merah dan putih. Tidak diberi panggung, lantai catwalk dan lantai area kursi dibiarkan sejajar. Karpet merah panjanglah yang menjadi penanda area para model akan berjalan memamerkan busana rancangan tim masing-masing. Juri perlombaan ini terbagi menjadi juri profesional dan juri penonton.
“Bajunya kekencengan? Atau aku makin gendut?” gemaman Marisa, model yang akan memamerkan baju rancanganku, terdengar di telingaku.
Aku yang tengah berdiri di balik tirai hitam yang memisahkan area pertunjukan dengan tempat para peserta berdiri menunggu giliran tampil memperhatikan bentuk tubuhnya. Baju itu sangat pas di tubuhnya. Bagaimana pun sejak awal aku memang menjahit sesuai ukurannya. Model roknya yang sudah kuganti dari tiered ruffles menjadi trumpet sangat cocok dengan bentuk lekukan tubuhnya. Gliter kuning yang kuganti menjadi gliter putih pun sangat cocok dengan warna kulitnya. Satu-satunya permasalahan yang dia punya saat ini hanya demam panggung.
Aku menghampiri Marisa lalu menggenggam tangannya yang terasa dingin. Seorang model harus mengosongkan dirinya saat beraksi, dan dia akan kesulitan melakukannya dengan suasana hati seperti ini. “Badan kamu bagus. Bajunya pas. Kamu cantik,” kataku.
Marisa menyapu pandangannnya ke sekeliling, “Model-model di sini kelihatan lebih profesional. Kedengarannya bodoh, tapi aku bisa lihat kalau mereka bersinar terang,” sergahnya.
Aku ikut memandang berkeliling. Marisa benar. Orang-orang di tempat ini bersinar sangat terang. Sebenarnya aku sendiri ikutan gugup dibuatnya. Aku sudah melakukan yang terbaik yang kubisa untuk perlombaan ini, jadi aku sangat tidak mau ada kesalahan yang membuatku menyesal nantinya. Aku memutar otak memikirkan apa yang akan Miss Yola lakukan untuk menyemangati jika dia ada di sini, bukan di barisan para penonton itu. Tapi aku tidak menemukan jawabannya—tentu saja—aku bukan dia.
“Kamu pernah lihat langit malam?” tanyaku.
Marisa mengernyit bingung, mungkin merasa pertanyaanku tidak ada hubungannya dengan situasi kami.
“Kamu pernah lihat langit malam?” tanyaku sekali lagi dan akhirnya dia mengangguk. “Setiap bintang di langit punya sinarnya masing-masing, entah dia itu bintang yang lebih besar atau lebih kecil. Jadi percaya aja dengan sinar milik kamu sendiri,” kataku.
“Dan aku harus memindahkan sinarnya ke baju buatan kamu, kan?” Marisa menghela napas sekali lagi, aku mengangkat bahu dan mengangguk.
Marisa memejamkan matanya dan mulutnya berkomat-kamit seperti berdoa. Aku juga memanjatkan doa dalam hati. Sekali lagi kuingatkan diri sendiri bahwa aku sudah melakukan yang terbaik jadi aku tidak akan menyesali apa pun hasil penilaian juri.
****
“Maaf, kita gak dapat juara pertama,” ucap Marisa begitu seluruh perlengkapan kami sudah masuk ke bagasi minibus.
Pak supir menutup pintu bagasi. Aku melingkarkan tanganku pada lengan Marisa lalu kami berjalan ke samping mobil. “Kita juara tiga! Aku datang tanpa berharap bawa pulang hadiah apa pun,” tampikku. Senyum kepuasan masih belum pudar juga dari bibirku. Para peserta lain membuat baju yang sangat indah dan mengagumkan. Berada dalam satu perlombaan dengan mereka saja sudah seperti berjalan di atas mimpi.
Marisa mendesah tawa. “Apa kamu selalu sepositif ini?” tanyanya sembari memasuki minibus mendahuluiku.
Aku mengerutkan hidung, pura-pura berpikir, “Kuharap iya,” jawabku sambil terkekeh.
Kami duduk bersebelahan di kursi paling belakang mini bus. Kami adalah murid terakhir yang masuk sementara ketiga guru pembimbing masih berbincang di luar.
“Sayang banget, besok kita udah harus pulang. Padahal aku pengin keliling shibuya sepuasnya, belanja sampai tabunganku habis,” ucap Marisa dengan nada tertawa pada ujung kalimatnya.
Aku melirik langit dari jendela di sampingku. “Dan sebentar lagi udah malam. Guru-guru kita gak mungkin ngijinin kita keluar dari wisma. Mungkin besok kita hanya mampir ke toko souveir sebentar,” sahutku.
Marisa mengangguk dengan wajah cemberut. “Ada tempat yang pengin kamu kunjungin di Tokyo?”
Aku menunduk dalam diam selama lima detik. Lima detik kemudian aku kembali melihat wajah cantik Marisa yang memerah karena kedinginan. “Ada, tapi jangan sekarang,” jawabku.
Dahi Marisa berkerut, “Kenapa?”
Karena aku ingin mendatanginya dengan seseorang yang tidak ada di sini saat ini.
Kehadiran Miss Yola dalam minibus mencuri perhatian Marisa akan jawabanku. Miss Yola duduk di kursi penumpang paling depan disusul dengan dua guru kami yang lain.
“Kalian lapar, kan?” suara Miss Yola terdengar dari depan sana.
“Banget, miss,” jawab seorang murid yang duduk di depanku.
Miss Yola menyondongkan tubuh ke samping kursinya dan melirik kami semua. “Hari ini miss traktir kalian makan sepuasnya,” kata Miss Yola. Janji itu membuat semua orang bersemangat dan beberapa menyerukan kata terimakasih pada Miss Yola. “Makasihnya ke Runa dan Marisa yang bikin miss senang hari ini,” ucapnya sambil membenarkan posisi duduknya.
Aku dan Marisa hanya tertawa saat para murid lain menggoda kami dengan ucapan terimakasih. Sementara itu minibus berjalan membawa kami meninggalkan gedung utama Tokyo Raffles University.
“Bohong, deh. Ketiga guru kalian ini udah reservasi jauh-jauh hari,” kata Miss Yola, dan kini teman-teman kami malah menyoraki aku dan Marisa.
****
Langit semakin gelap di setiap menit perjalanan. Pemandangan kota Tokyo yang tampak dari balik kaca jendela berkilau dihiasi lampu-lampu hias. Setiap pohon di sepanjang jalan dililit dengan lampu hias berwarna biru muda atau putih dari batang hingga daun-daunnya. Hiasan natal bercahaya kerlap-kerlip di mana-mana. Setiap gedung ikut memamerkan cahaya dari lampu hias yang dihias di dinding dan atapnya.
Kami turun di dekat pertigaan sementara driver masih harus membawa minibus ke tempat parkir. Miss Yola mengarahkan kami untuk berjalan berdekatan agar tidak tersesat. Kami berjalan dengan takjub di antara barisan pohon-pohon berhias lampu itu. Teman-temanku mulai berencana akan mengambil foto setelah kami selesai makan.
Pandanganku terjebak pada Tokyo Tower yang hanya berjarak sekitar satu setengah kilometer dari tempat kami berjalan. Menara yang biasanya berwarna merah danputih kini memancarkan sinar kuning pada bagian tengah sampai pucuk paling atas. Tampak begitu indah bersandingan dengan pepohonan bermandikan cahaya biru.
“Di dekat Tokyo Tower, setiap musim dingin ada banyak hiasan dari lampu-lampu yang pasti akan membuat kamu takjub.”
“Runa!” Panggilan Miss Yola membuyarkan lamunanku. Aku langsung memutar wajah meliriknya dan baru sadar kalau seluruh gerombongan kami sedang menungguku di pintu masuk sebuah kafe yang berada lima langkah di belakangku.
“Kamu melamun?” Marisa tersenyum meledek.
Aku menjawab dengan senyuman lalu berjalan mendekati mereka. Miss Yola merangkul bahuku saat aku sudah di dekatnya. Gerombongan kami memasuki kafe dan diarahkan langsung oleh penerima tamu. Miss Yola menuntunku masuk tapi aku berdiam di tempat, membuatnya menatapiku dengan bingung.
“Maaf, miss. Boleh saya keluar sebentar?”
Perkataanku membuat Miss Yola membelalak. “Memangnya kamu mau ke mana?”
“Saya hanya mau jalan sebentar ke arah sana untuk memastikan sesuatu,” aku menunjuk ke arah Tokyo Tower, “Saya akan langsung balik ke sini dalam beberapa menit.”
“Kalau mau ke sana, besok sebelum ke Bandara kita sempatkan.”
“Miss ingat saya pernah bilang kalau saya punya janji dengan seseorang untuk ketemu di Tokyo Tower?” selaku.