Sepulang sekolah Flora mengambil jalan sungai. Rambut panjangnya yang dikucir satu berkibas ke kanan dan ke kiri. Ditambah suara gemerincing lonceng dari gantungan tas merah yang dipakainya. Langkahnya menjadi begitu ramai dan dikenali. Dia terbiasa dengan suara itu karena membuatnya tidak pernah merasa sendirian
“Flo, mau ke mana?” panggil seseorang yang dikenalnya.
Flora menengok ke belakang. Teman sekelasnya berlari kecil menyusulnya sambil terengah-engah. Anak laki-laki yang bernama Bumi. Mereka lahir di bulan yang sama, hanya beda sepuluh hari.
Sekolah dasar Flora dan Bumi memiliki sedikit murid. Bila dihitung secara matematika kurang dari sepuluh orang. Hanya ada sembilan murid di sekolah dasar itu.
Pada tahun sembilan puluhan desa tempat tinggal Flora banyak yang melakukan transmigrasi dan peraturan keluarga berencana sungguh sangat berhasil. Jadi, hanya ada sedikit anak seusia Flora. Bahkan di sekolahnya sekarang tidak ada murid di kelas dua. Dan Flora sudah menginjak kelas empat SD di catur wulan ketiga sekarang.
Tahun sembilan puluh delapan, saat politik di ibukota sedang carut marut. Namun, kehidupan Flora dan Bumi di desa tidak terpengaruh sama sekali. Dia masih bisa menikmati kebebasannya untuk bermain. Usianya yang masih anak-anak adalah keberuntungannya. Tidak perlu memikirkan hal rumit di negaranya yang sedang sulit.
Flora bersahabat baik dengan Bumi karena rumah mereka letaknya tidak terlalu jauh. Sedangkan, dengan teman-temannya yang lain sudah berbeda dusun. Desa mereka dibagi menjadi beberapa dusun. Flora dan Bumi tinggal di dusun Barat, sedangkan kebanyakan teman yang lain tersebar di dusun Timur dan Tenggara.
“Jalanmu kenapa begitu cepat sih, Flo?” ucap Bumi saat sudah bisa menyusul Flora.
“Kamu ngapain ngikutin aku?” tanya Flora.
“Rumah kita kan searah,” jawab Bumi, “Kamu mau ke mana? Kok lewat sini?” Bumi terdengar penasaran dan tidak ingin ketinggalan apa pun yang ingin dilakukan Flora.
Flora kembali berjalan menyusuri tanggul sungai. Dia mengabaikan pertanyaan Bumi dan terus melangkah ke depan.
Bumi menarik tas Flora sampai tertarik ke belakang, “Jadi, mau ke mana?”
“Tentu saja pulang, Bumbum,” jawab Flora sambil memanggil nama Bumi dengan sapaan akrab yaitu Bumbum. Selain Bundanya Bumi, hanya Flora yang berani memanggil Bumi dengan Bumbum.
“Pulang?” ucap Bumi sambil menaikkan batang kacamatanya yang melorot ke bawah. Ada nada kecewa di suara Bumi, seolah anak laki-laki ini mengharapkan lebih dari sekadar kata pulang. Dia mengharapkan petualangan atau hal semacam itu yang membuat hari ini memiliki perbedaan dari hari kemarin.
“Aku tidak bermaksud untuk bermain sebelum sampai rumah,” jelas Flora.
“Lihat di depan ada bendungan sungai. Ada roda yang bisa diputar seperti kemudi kapal bajak laut. Bagaimana kalau kita memutarnya dan berpura-pura menjadi bajak laut?” saran Bumi.
Flora menarik tangan Bumi mendekati bendungan sungai, “Lihat, Bumbum. Ada rantai komplit dengan gemboknya. Itu tandanya orang dewasa tidak ingin kita bermain dengan benda ini. Atau ini sudah milik bajak laut lain, selama kita tidak memiliki kuncinya dan tidak bisa merebut dari pemilik aslinya. Sebaiknya lupakan idemu bermain dengan benda ini.” Flora menunjuk roda kemudi itu. Roda yang terbuat dari logam dan dipasang di atas dinding beton yang membendung sungai.
Flora menepuk bahu Bumi, “Ayo, pulang. Kamu tidak takut Bundamu memarahimu karena tidak langsung pulang?” tanya Flora.
“Kalau kamu tidak ingin bermain kenapa lewat jalan ini?” Bumi tidak puas dengan perjalanan pulang yang biasa saja dan membosankan itu. Dia mengambil satu ranting kayu yang ditemukannya dan menjadikannya tongkat.
Bumi berjalan di belakang Flora jarak lima langkah sambil mengayun tongkat itu, tetapi kemudian tongkat itu mengayun lepas dari telapak tangannya. Dan dengan tidak sengaja, tetapi begitu sempurna jatuh tepat di kepala Flora. Meskipun, itu ranting kecil, Flora masih merasakan sakit. Emosinya pun tersulut.
“Bumbum!” teriaknya.