Aku duduk di atas kasur menatap lurus ke jendela. Hanya tersisa jejak hujan di luar sana. Awan mendung masih dalam perjalanan pulang. Berarak pelan kelihatannya. Pergantian siang malam sudah lama aku tidak begitu memperhatikan. Akankah sama seperti waktu-waktu yang sudah terlewat? Haruskah kutunggu dan memastikan. Lalu, kukonfirmasi ulang. Namun, sekarang masih pukul dua siang. Masih jauh dari waktunya matahari menuju peraduan.
Kuamati lagi lebih dekat. Ada butiran air yang enggan jatuh ke tanah. Setitik air menggantung di pucuk daun bunga iris yang ditanam di bawah jendela kamarku. Aku menyentuhnya, air itu pecah di ujung jari manisku. Dingin.
Aku menarik napas dalam. Aroma tanah yang habis dibasuh hujan melekat di ujung hidungku. Dua belas tahun telah berlalu dari masa kanak-kanak yang lugu. Kebersamaan yang aku pikir akan selamanya. Kemudian, kurang dari empat tahun yang lalu, kedua kalinya aku dan Flora berpisah lagi dalam diam. Gadis itu kenapa hobi sekali datang dan pergi tanpa kata dan suara. Sungguh menyebalkan. Namun masih saja aku menantinya dan bertanya-tanya. Kapan ketiga kalinya dia akan datang lagi di hadapanku? Aku selalu menunggu.
“Kamu di mana, Flo?” tanyaku berharap ada yang bisa menjawabnya.
Ketukan pintu membuyarkan segala imajinasiku.
“Nath, ada yang mencarimu.”
Aku membuka pintu, “Siapa, Bu?”
“Raka. Duduk di teras anaknya.”
Aku berjalan keluar. Raka hampir menyalakan rokoknya.
“Aku pikir kamu sudah berhenti merokok,” kataku.
“Ah, ini…” Raka menghentikan niatnya merokok, “Sesekali saja kok, Tha…”
“Tumben ke sini,” kataku.
“Ya, sambil lewat aja. Terus aku ingat rumahmu di sini.”
Aku dan Raka merupakan teman sekolah saat SMA. Bisa dikatakan aku dan dia jarang sekali bertemu Kami memilih kampus di kota yang berbeda. Waktu liburan pun jarang sekali bersamaan. Tugas kuliah dan teman baru di kampus masing-masing membuat kami saling melupakan. Mungkin karena itu, jarak sering kali membuat orang-orang amnesia. Kecuali, ada pemantik yang membuat seseorang itu kembali mengingat masa lalunya.
“Aku lihat di instagrammu kamu sudah lulus. Tiga setengah tahun. Keren kamu, Tha.” Entah Raka benar-benar memuji, entah berbasa basi. Di jurusanku sebenarnya itu sudah biasa mahasiswa lulus kurang dari empat tahun.
“He-eh,” jawabku singkat.
“Natha...”
Raka memanggil namaku. Suaranya terdengar menggantung.
“Natha, apa kamu masih menunggunya?” tanya Raka.
“Siapa?” Aku pura-pura tidak mengerti.
“Tuan putri di setiap cerita yang kamu buat.”
Aku terdiam.
“Aku melihatnya di stasiun kereta.”
Aku menatap Raka tidak percaya.
“Awalnya aku tidak yakin kalau itu dia, tetapi benar-benar mirip.