Halaman Cerita Tanpa Flora

windra yuniarsih
Chapter #4

Hantu di Kepala

Aku duduk melamun di sofa ruang tengah. Masih terngiang ucapan Raka siang tadi, “Mungkin Flora Calista salah satunya yang nikah di usia muda.”   Aku tertawa sendiri. Usia dua puluh satu tahun menikah. Itu bukan hal yang langka. Dari zaman nenek kakek memang kebanyakan wanita menikah muda. Tidak ada yang melarang. Aturan pemerintah sekarang malahan usia 19 tahun juga sudah boleh menikah.

“Hei, ketawa sendiri? Kamu sehat kan, Nat?” Kak Ana menempelkan telapak tangannya di dahiku.

“Hampir gila,” jawabku.

“Kelamaan di rumah sih? Belum ada panggilan interview kerja emangnya?”

Pertanyan ini aku tahu akan berlanjut ke mana. Aku sedang malas saja mengobrol masalah pekerjaan.

“Rahasia,”jawabku sambil beranjak pergi.

“Kamu tuh ya ditanya baik-baik malah gitu!” protes Kak Ana.

Aku kembali ke kamarku dan melamunkan Flora Calista lagi. Kepalaku sepertinya 90 persen hanya berisi tentang dia. Entah ke mana logika dan akal sehatku pergi selama ini. Selalu dia yang terekam di memori. Menjejak rekat sulit untuk dilepaskan. Seolah sudah terikat dengan neuron-neuron otak. Bila aku mencoba menghapusnya, aku akan gila seperti memaksa memutus sinapsis yang menghubungkan saraf satu dan lainnya.

Flora yang harusnya menyejukkan dan menenangkan pun menjadi hantu di kepalaku. Membayangiku dengan kenangan-kenangan singkat bersamanya. Kenangan yang tidak indah, tetapi bukankah kenangan seperti itu yang sering kali tidak bisa dilupakan. Rasa sakit di hati kadang lebih tahan lama. Mengakar dan menumbuhkan tunas-tunas pertanyaan yang tidak terjawab. Hingga menutup rasa bahagia yang juga sempat ada.

Orang-orang banyak yang tidak mengerti. Seringkali mencela rasaku seperti sebuah obsesi. Aku rasa Flora sendiri pun tidak memahami. Sampai-sampai dia mematahkanku dengan kepergiannya yang entah ke belahan bumi mana. Padahal Buminya selalu menantinya kembali.

Aku yang bodoh. Aku yang mencinta seorang diri. Namun, aku yang tidak bisa menarik hati lagi. Siapa yang harus kusalahkan? Aku tidak bisa menyalahkan Flora karena ini hanya perasaanku saja. Aku tidak bisa memaksakan Flora untuk rasaku yang tak pernah dirasainya. Tetapi, aku tidak menerima bila statusku sebagai sahabatnya pun tidak dianggapnya sama sekali.

Aku ingin sekali lagi dia kembali dan memberitahuku cerita hidupnya selama ini dalam lembaran-lembaran kertas putih seperti dulu. Aku ingin dia menceritakan kenapa harus pergi tiba-tiba seperti hantu. Menghilang tidak ada jejak dan kabar.

Aku juga ingin memberitahunya bahwa halaman cerita tanpa Flora itu hampa. Aku merasa kosong tanpa senyumannya. Duniaku menjadi sepi ketika tidak kudengar suaranya lagi. Hari-hari yang kulewati beberapa tahun ini seperti rutinitas yang monoton, kosong, dan tidak memiliki warna. Karena itulah cerita yang harusnya diselesaikan empat tahun yang lalu tidak pernah selesai di tanganku karena cerita itu butuh nyawanya yaitu Flora Calista. Seseorang yang membawaku ke dalam dunia cerita.

Lihat selengkapnya