Halaman Sembilan

verlit ivana
Chapter #2

Kausa

Sore sebelum repetisi mimpi buruk.

Di balik meja paling belakang sejajar dengan pintu kelas, Riang mengecek ulang buku serta alat tulisnya, sementara di tengah-tengah ruangan, beberapa siswa tengah asik berdiskusi. Gadis bertubuh mungil itu berusaha tak acuh, menggendong ransel kanvas biru di punggung. Gue gak usah ikutan ga apa-apa 'kan ya? Mau ngerjain konsep mural di ruang klub.

"Heh, mau kemana Lo?" tegur gadis cantik bernama Daen, sepasang mata dengan softlens allure gray itu menyorot kesal, "Gak liat... kami semua diskusi buat nengokin guru yang abis kecelakaan?" cecarnya tanpa beranjak dari tempat duduk.

Riang berhenti di depan white board dan menoleh, "Gue gak bisa ikutan, udah bilang 'kan kemaren..." jawabnya datar. Lagian yang lain juga udah banyak yang pulang.

Daen, gadis tinggi berbobot ideal itu menghampiri Riang dengan langkah gusar, "Acara lomba sekolah, perwakilan kelas rapat OSIS, piket ngurus kebun sekolah, pertandingan sepak bola antar kelas... saat anak-anak kelas XI-C ini terlibat itu semua, Lo di mana?" Rentetan pertanyaan bernada sinis penuh penekanan di akhir kalimat itu membuat Riang mengatup mulut.

Riang yang ramping dan sejengkal lebih pendek dari Daen itu membenarkan letak kacamatanya, merasa terintimidasi. Memang benar, ia tak pernah mengikuti kegiatan kelas, kecuali yang bersifat wajib seperti belajar dan tugas kelompok, adapun di luar itu, Riang tidak merasa harus turut serta. Lagipula ia punya hal lain untuk dikerjakan. Sayangnya menerjemahkan suara hati menjadi bahasa lisan bukanlah keahliannya.

"Udahlah Daen, kita juga udah mau kelar," bujuk salah satu dari mereka dengan santai.

"Ah lo belain dia melulu!" Daen mendecak sebal namun tetap berbalik, lantas melenggang mengibas rambut legam sepinggang, meninggalkan Riang.

Beranjak meninggalkan kelas, Riang menuju ruang Art Club. Beberapa anggota klub itu tengah berkutat dengan peralatan desain, baik manual maupun digital. Setelah membalas basa-basi teman satu passion di sana, gadis itu mengeluarkan peralatan pribadinya dari loker. Ah semoga kelar sebelum maghrib.

Pada awal smester genap tahun ini, pihak sekolah secara khusus meminta Art Club untuk membuat konsep mural yang mampu menyampaikan pesan pencegahan bunuh diri. Ya. Bunuh diri, tindakan tragis yang pada tahun 2020 merenggut lebih dari 600 jiwa penghuni negeri ini.

Menurut info dari Nia sang ketua klub, sekolah akan menanggung biaya alat dan bahan termasuk ongkos pengerjaan yang dilakukan anggota Art Club itu sendiri, tentu saja para remaja kreatif tersebut girang bukan kepalang, membayangkan karya mereka terpampang di sekolah ini: Akusara High School, sekolah yang berusia cukup tua, dan kini menjadi salah satu sekolah swasta idaman di kota itu.

"Kece banget ini! Kak Angga, liat deh gambarnya Riang." Nia melambai pada cowok tinggi yang tengah merapikan gundukan marker inventaris klub di rak khusus.

Cowok yang lebih mirip atlet daripada seniman itu, segera menghampiri dan tertegun sejenak mengamati gambar buatan Riang pada layar drawing tablet, "Wih ngeri. Lo dapet inspirasi dari mana ini?"

Riang sempat menangkap ekspresi jeri di wajah Angga yang hanya sepersekian detik tadi, "Ng... kurang cocok ya Kak, dengan tema yang mau kita angkat?" tanya Riang canggung. Ya iyalah mana ada kampanye yang harusnya bawa positive vibes tapi nuansanya dark kayak gambar gue ini, yang ada malah bangkit tuh keinginan buat suicide.

Cowok berbakat dari kelas XII yang merupakan mantan ketua klub itu mengulum senyum, tak mau menyinggung juniornya. Bener kata Nia, gambar konsep si Riang ini bagus. Sayangnya gak masuk di tema kali ini. Angga berdehem, "Mungkin bisa dibikin lebih ceria ya, Riang..." tukas Angga kemudian tanpa menanggalkan senyumnya.

"Nia, Lo sebenernya deket gak sih sama dia?" tanya Angga ketika berjarak cukup jauh dari Riang.

Mata Nia membulat antusias, "Biasa aja sih Kak, agak sungkan gue deketin dia. Mungkin karena irit ngomong gitu, gue kan bawel... takut salah ngomong," jawab Nia renyah, "kenapa Kak? Kak Angga naksir sama Riang?" bisiknya kemudian.

Angga tertawa,"Kebanyakan nonton drakor romance Lo," selorohnya dan urung membahas lagi. Mungkin hanya perasaan gue aja, Riang kadang creepy. Batin Angga, teringat lukisan cat air yang Riang buat saat pertama kali bergabung dengan Art Klub. Meski setelahnya gambar Riang bisa menyesuaikan tema kegiatan klub, tapi adakalanya ada sensasi mengerikan terasa dalam guratan sketsa ataupun warna lukisan Riang. Tampak kontras dengan kesan manis si artist meski jarang tersenyum.

***

Keasyikan kegiatan aneka klub yang dilaksanakan seusai aktiviatas belajar hari itu harus mengalah pada instruksi dari pengeras suara: Semua siswa harus segera pulang sebelum matahari benar-benar tenggelam.

Riang keluar paling akhir dari ruang Art Club dan mengunci pintu, tiba-tiba seorang siswi yang tidak ia kenal menggamit lengannya, "Eh, Lo. Tolong temenin gue yuk. Ke gedung sekolah lama." Ia menatap Riang penuh harap.

Riang mengernyit. Siapa ya... tiba-tiba gini? Belom pernah gue ke gedung lama. Bukannya di sana itu gudang-gudang aja? Tapi kalo gudang Art Club sejak gue masih anak baru udah gak di situ sih untungnya.

"Mau ngapain emang?" tanya Riang akhirnya.

"Barusan senior Klub Fashion telepon gue, nyuruh ngambil maneken di gudang. Tapi gue gak berani kalau sendirian, temen-temen yang lain udah pada pulang."

Riang menatap siswi bermasker di hadapannya. Oh anak kelas X mungkin dia. Kasian Dek, Kamu dikerjain kakak kelas, gue temenin deh. Gadis itu mengangguk dan mengiringi langkah siswi yang mengaku bernama Lini tersebut ke arah utara.

"Maaf ya ngerepotin, padahal kita enggak kenal," ujar Lini kala mereka melewati dinding bagian dari bangunan lama yang dibobok. Mungkin dulunya pagar pembatas sebelum area sekolah diperluas atau tepatnya berpindah ke lahan sebelah.

Mereka menyusuri koridor terbuka yang diapit kebun tak terurus menuju bangunan tua. Lini berusaha mencairkan suasana namun Riang tak menanggapi. Ia terhenyak melihat sisi lain sekolah ini, karena biasanya Riang hanya melihat dari jauh area tersebut ketika melintasi lapangan. Mirip pemakaman di perkampungan deket rumah. Apalagi ada pohon Kamboja putih. Ih kok banyak pohonnya!

Pintu besi berderit membuka, memperlihatkan pemandangan yang tak kalah suram. Bangunan sederhana beratap rendah yang sudah reyot, serta halaman yang tertutup rumput liar, hanya beberapa ruangan dengan kondisi agak layak sajalah yang difungsikan sebagai gudang. Riang memindai sekelilingnya, dinding bercat terkelupas yang bersanding dengan pintu serta jendela kayu keropos, bahkan beberapa terlepas dari kusen. Bayang-bayang gelap mulai tercipta seiring hari yang beranjak senja. Ya Allah kok horor gini ya suasanya, nah tuh sayup suara adzan maghrib. Kata ayah waktu gue kecil dulu, kalo maghrib... setan berseliweran. Hiyy!

"Eh sorry, Riang. Gue sakit perut. Mana ga ada toilet di sini. Tunggu sebentar ya, gue ke sekolah dulu! Gak tahan..." tukas Lini semerta berlari menuju lorong tanpa menunggu persetujuan Riang, tepat saat mereka berada di depan pintu gudang.

Emang tadi gue nyebutin nama ya? Riang sejenak berpikir dan firasat buruk menyerbunya. Gadis itu segera berlari sekuat tenaga mengejar Lini, namun nahas. Pintu besi yang menuju gedung sekolah baru telah tertutup. Ya Allah!

"Lini! Buka pintunya, Lini!" Riang berteriak sambil memukul-mukul pintu besi tersebut dan hanya disambut hening.

Riang berusaha tetap tenang, ia mengeluarkan gawai di dalam tas dan mencari-cari kontak yang sekiranya bisa dimintai bantuan. Namun ia tersadar jam sekolah sudah lama berakhir, begitu pun kegiatan klub. Jika beruntung ada security yang mendengarnya, namun ia berada di bangunan lama. Siapa juga yang mengira ada orang di sini?

Gadis itu diserbu rasa ngeri, bagaimana jika hari gelap dan dia masih terjebak di sana? Bukankah konon bangunan yang sudah tak terpakai manusia bisa saja ditempati makhluk lain? Apalagi selama ini sering ada cerita ganjil mengenai area bangunan tua ini. Mentang-mentang cuma buat gudang, gak ada lampu yang masih berfungsi di sini. Hemat sih hemat... tapi gimana kalau muncul 'sesuatu'? Duh serem. Riang enggan membayangkan lebih jauh. Namun cahaya raja siang tak berhenti merayap pamit, seiring gema adzan maghrib yang berhenti berkumandang. Gadis itu menggedor pintu sekuat tenaga seraya merapal doa.

Tiba-tiba terdengar langkah suara kaki, seperti berlari mendekat. Tak ingin kehilangan kesempatan, Riang berteriak minta tolong sambil memukul-mukul pintu sekuat tenaga hingga telapak tangannya nyeri. Suara berdentang-dentang di balik pintu besi membuat Riang mundur beberapa langkah. Suara apa itu? Jangan-jangan gue malah manggil begal! Teringat olehnya televisi sekolah yang digondol maling beberapa bulan lalu.

Lihat selengkapnya