Halaman Sembilan

verlit ivana
Chapter #3

Kembali ke Tempat yang Sama

Novelavender Apartment, nama baru itu disematkan sang owner pada bangunan yang dulu disebut sarang hantu oleh nenek pecinta daun singkong kampung Rancah. Kini bangunan tersebut tak lagi tampak angker, melainkan menjadi salah satu icon modern pinggiran kota tersebut. Meskipun demikian, apartemen dua tower heksagonal bernuasa cokelat itu masih saja misterius bagi Agung. Tentu saja, tak mungkin ia melupakan malam nahas kala ia terperosok dalam void tanpa pembatas saat mengejar 'hantu' bertahun-tahun silam.

Kala itu Agung terjatuh cukup dalam, mendapat goresan, sayatan serta benturan bertubi-tubi, hingga akhirnya pria kekar itu terhempas di atas tumpukan puing konstruksi dengan posisi tengkurap dan kaki tertekuk. Ia memekik nyeri. Rasa terkejut juga sakit yang ia alami, membuatnya membutuhkan waktu beberapa menit untuk menyadari situasi. Ditambah perpaduan bau busuk dan udara lembap yang menyerbu, seolah menghalangi masuknya oksigen ke paru-paru. Sungguh mengganggu fokus dan membuat pria tanpa kumis itu harus bernapas lewat mulut. Perlahan ia bangkit, mengatur posisi hingga bisa duduk sambil menahan sakit di kaki kirinya. Haduh keseleo atau jangan-jangan malah patah?

Setelah merasa cukup tenang, ia mulai mengobservasi. Berkat secercah cahaya dari lubang tempatnya terjatuh, tampak samar-samar ruangan luas tanpa dinding sekat, hanya barisan kolom-kolom berukuran besar. Dengan perkirakan terjatuh dari ketinggian sekitar satu lantai dari lantai dasar yang ia masuki, Agung menyimpulkan ia berada dalam rubanah, yang biasanya digunakan untuk area parkir di dalam gedung. Sambil menutupi hidung ia mencoba bangkit berdiri, meringis. Jika benar ini adalah parkiran basement, pasti ada jalan masuk untuk mobil. Ia celingukan, mencari jejak cahaya, arah angin serta memperkirakan denah bangunan dalam kepalanya. Lalu setelah menetapkan arah, ia kemudian mulai melangkah terseok merambati dinding yang masih bertekstur adukan kasar.

Beberapa meter ia melangkah sambil menutup hidung, dikarenakan bau busuk yang semakin menyiksa. Lalu suara dengung terdengar, sekawanan lalat berseliweran menyentuh wajah dan tangannya. Agung berusaha menepis lalat-lalat itu, mengibas-ngibaskan sebelah tangannya sambil terus melangkah. Alhamdulillah. Bibir lelaki itu sedikit terangkat, kala seberkas cahaya lembut yang kiranya berasal dari luar bangunan memperjelas pandangan, meski masih kalah oleh gelap tapi lebih baik daripada kepekatan sepanjang dinding yang ia telusuri tadi. Polisi itu memperlambat langkah saat ekor matanya menangkap sebuah gundukan tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia memicingkan mata dan mendekati gundukan yang berbentuk memanjang, sementara lalat-lalat semakin banyak berseliweran di sana. Semakin dekat, semakin jelas apa yang dikerubungi lalat-lalat itu. Agung terlonjak. Astagfirullah! Itu tubuh manusia! Ada mayat di sini.

Benar-benar sebuah temuan tak terduga. Bagaimana bisa security di luar sana tak menyadari keberadaan jasad ini? Mencurigakan. Agung berspekulasi sembari berjongkok mengamati, berusaha mengidentifikasi jasad yang terbujur di hadapannya dalam gelap, namun sulit. Akhirnya ia memutuskan keluar dulu dari tempat tersebut untuk memanggil bantuan, karena saat itu ia tak membawa ponsel atau alat komunikasi apapun.

Dengan susah payah ia berusaha berdiri dengan sebelah tangan bertumpu pada tumpukan hebel, sementara tangan satunya tetap menutupi hidung. Belum sampai lututnya tegak, tiba-tiba kepalanya dihantam dari belakang dengan amat keras! Sekonyong-konyong polisi berdedikasi itu tersungkur dan hilang kesadaran.

Agung mengusap wajahnya kasar, menatap bangunan Novelavender di masa kini. Duduk di kursi teras cofee shop yang berada di sebrang apartemen tersebut, hanya terpisah oleh jalan bercor beton yang kini merupakan jalur sibuk, sejak kota mandiri di sebelah kampung Rancah semakin berkembang. Seiring dengan ramainya orang yang berlalu-lalang, ruko-ruko pun bermunculan di sepanjang jalan, menggantikan deretan pohon. Salah satunya adalaah cofee shop kekinian tempat ia berada.

Sebuah kasus kematian mengharuskan dirinya kembali ke berkaitan dengan apartemen misterius itu. Di masa lalu kasus yang ia tangani ditutup ketika dirinya tak sadarkan diri di rumah sakit, meski tak rela, beragam hal membuat ia tak bisa membuat kasus itu dibuka kembali. Beda dengan masa lalu, kini Agung bertekad akan mengungkap kebenaran bagaimanapun caranya, terlebih zaman telah berganti dan ia memiliki seorang rekan yang bisa diandalkan: Park, seorang pria cerdas melek teknologi yang menguasai beberapa martial art, ditambah visual yang good looking, memberi kemudahan tersendiri ketika mengorek informasi, terutama dari para kaum hawa.

"Ngeliatinnya gitu amat Pak!" Park berjengit risi seraya menyerahkan segelas kopi pada Agung.

Pria yang telah beruban itu menyeringai, "Liat Lo, bikin gue inget zaman masih muda," jawab Agung, dia sengaja berbahasa tidak formal dengan rekan sesama penyidik ini agar lebih nyaman dalam berkomunikasi, meski demikian, Park masih tetap tahu sopan santun.

Lihat selengkapnya