Halaman Sembilan

verlit ivana
Chapter #4

Dia yang Berlarian

Para siswa yang telat telah dilepaskan kembali oleh pak Gahar, menuju kelas masing-masing. Adapun Sinar, cowok berambut keriting itu berlarian mengejar Riang yang berjalan amat cepat, tak menggubris dirinya. Padahal ia sedari tadi meneriakkan nama lengkap Riang seperti dalam daftar absensi siswa. Bahkan Riang terus menunduk, tak memerhatikan sekitar. Tak tebesit dalam kepala Sinar, jika gadis di depannya itu justru kabur karena dipanggil sedemikian rupa olehnya. Apalagi sambil diselingi siulan, serta rayuan gombal, yang tentu saja menyebabkan siapapun yang menonton mereka berdua di sepanjang lapangan itu jadi ikut-ikutan menyoraki.

Padahal Sinar hanya penasaran dengan isi playlist Riang yang baginya tak biasa, sayangnya ketika tadi ia ingin bertanya, pak Gahar sudah lebih dulu membubarkan 'kaum telatan', dan kemudian tanpa bisa Sinar cegah, Riang semerta mencabut earphone di telinga cowok itu dan beringsut pergi.

Sambil menahan malu karena diolok-olok akibat kelakuan Sinar, Riang pun tiba di pintu kelas, namun sosok Daen yang berkacak pinggang, menghadang dengan tatapan angkuh. Ia terkesiap, teringat kembali tentang kemungkinan bahwa Daen adalah dalang di balik kejadian kemarin sore. Aduh. Gue lupa sejenak sama cewek ini. Mau ngapain lagi dia?

"Eh masih idup... kirain udah dimangsa sama dedem-" Daen menelan kalimatnya ketika Sinar muncul tepat di belakang Riang, cowok yang biasanya ramah itu menatap dirinya dengan garang, menciutkan nyali sekaligus memantik rasa cemburu. Kenapa sih Sinar ngeliatinnya kayak gitu? Gak boleh banget gue negur si kaca mata? Ini gue lho! Gue!

Riang yang melihat tatapan Daen tak lagi tertuju pada dirinya, segera saja ia pergi ke pojok kelas. Di sana ia disambut oleh Lian, teman semejanya.

"Pagi, Daen," sapa Sinar kemudian setelah memastikan Riang berada dalam kondisi aman.

Daen gelagapan, tak menyangka Sinar akan menyapa setelah menyorotnya dengan tatapan tajam, dan meski cowok berwajah mirip Takeru Satoh berkulit tan itu tersenyum, namun matanya tetap mengintimidasi.

"Pa-, pagi... ju-" Lagi-lagi Daen tak mampu menuntaskan kalimatnya, karena Sinar sudah melengos pergi menuju tengah ruangan dimana teman-teman cowok lainnya berada. Gila... gue dicuekin! Jangan-jangan dia tau kalau gue yang bikin si cewek kaca mata kekurung di gedung lama. Terus kalaupun tau, harus banget gitu jutekin gue? Emang apa coba pentingya cewek itu!

Daen merengut kesal, dadanya bergemuruh seraya menatap Riang yang tengah mengobrol dengan Lian. Rasanya ia ingin berlari ke arah cewek kurus itu dan menjambak rambut bergelombangnya. Namun keberadaan Sinar membuatnya urung bertindak demikian.Gak tau ah! Kesel! Ia lalu ke luar kelas, tepat ketika seorang senior berwajah tampan dengan perawakan kekar melintas dan menyapa Daen hangat. Tak lama kemudian mereka berdua beranjak dari sana sambil bergandengan tangan.

Sudut mata Daen menangkap Sinar yang tengah memerhatikan Riang dari tengah kelas. Sinar aneh, belain cewek kayak gitu dan mengabaikan gue. Kakak kelas yang disegani di Akusara ini aja tunduk ke gue... apa hebatnya cewek culun itu!

Sementara itu di balik meja kayu paling belakang ruangan, Lian menginterogiasi Riang dengan antusias, "Jadi, kenapa bisa ada kejadian kayak gitu tadi?"

Riang menaikkan alisnya, sungguh ia malas membahas kembali kejadian memalukan tersebut. Ha...hh, baru aja jantung gue tenang. "Bahas yang lain aja deh... bahas efek rumah kaca, misalnya. Panas banget kan belakangan ini. Duh gerah gue," tukasnya seraya membentuk hair bun.

Suhu dalam ruang kelas memang cukup panas, karena pendingin udara tak dinyalakan kecuali saat jam belajar dimana pintu harus terutup rapat, biasanya kipas angin yang menggantug di plafond cukup menyejukkan, tapi tidak hari ini.

Lian terkekeh, ingin rasanya ia menggoda Riang. Gadis yang tak suka membaur itu, baru saja jadi pusat perhatian. Mungkin gue harus berterima kasih sama Sinar. Lian ingin teman-teman lain mengenal Riang dan mengetahui sisi baik gadis itu, meskipun sebenarnya Riang sendirilah yang tidak tertarik bergaul dengan mereka, seorang teman semeja sudah cukup bagi dia di kelas ini.

"Eh iya, rumah Lo deket kan... sama Novelavender?" tanya Lian mengungkit apartemen dalam berita yang ia tonton saat sarapan tadi pagi.

Mendengar nama yang ia benci, sontak Riang menegakkan punggung. Entah mengapa firasatnya tak enak, "Kenapa emang?" Jantung Riang berdegup lebih cepat.

Lian tak menyangka lawan bicaranya ternyata menanggapi dengan antusias, gadis bermata sipit itu pun kemudian semangat melanjutkan, "Ada yang mati di sana..."

Mata Riang membulat. Jadi bener ini yang tadi pagi ibunda bahas tapi gak jadi. Pantesan. "Terus?"

"Dari berita sih kabarnya sebab kematian orang itu belom jelas, tapi di medsos, ada yang bilang kalau dia itu," Lian menjeda mendekatkan wajahnya pada Riang, "dia bunuh diri dengan lompat dari lantai tujuh..." lanjutnya hampir berbisik.

Riang menarik tubuhnya menjauh, bergidik ngeri. Lantai tujuh? Berarti bisa jadi dia lompat dari salah satu tower yang kelihatan dari kamar gue dong?

"Serem banget kan," tukas Lian, kemudian beralih pada teman di bangku depan yang tiba-tiba mengajaknya mengobrol soal mahalnya tiket konser K-pop idol yang akan digelar sebentar lagi.

Lihat selengkapnya