Halaman Sembilan

verlit ivana
Chapter #6

Ruang-ruang Dalam Ingatan

Riang merasa bingung saat membuka mata. Ia tidak berada di dalam kelas seperti yang diingatnya terakhir kali. Tubuh dan kepalanya terasa ringan, pun tak dapat ia rasakan dengan jelas bobot tubuh serta kakinya yang berpijak. Ini mimpikah?

Gadis itu merangkum pemandangan sederhana berselimut warna sore yang belum sampai senja. Ia berdiri di tengah jalanan tanah berbatu yang tidak seberapa lebarnya, terapit pagar beton tinggi, hanya muat dilalui sebuah mobil atau dua buah sepeda motor. Ini sebuah gang.

Dia menoleh ke belakang, terlihat olehnya orang-orang sibuk mengecat dinding pagar dalam suasana yang menyenangkan, sampai tiba-tiba terdengar suara bising dan teriakan. Saat sedang mengamati begitu, sekonyong-konyong tubuhnya disambar dan dibawa berlari entah oleh siapa, orang itu berlari kencang sampai Riang merasa terguncang-guncang.

Kekacauan, itulah yang ia simpulkan dari pemandangan yang semakin menjauh.

Drak!

Ranjang besi berderak kala Riang tersentak. Matanya membuka lebar dan terduduk tegak, rambutnya tergerai, memegar dan terlihat acak.

"Astaga ngagetin!" pekik sebuah suara yang familiar, namun Riang abaikan.

Gadis itu mengerjap-ngerjapkan mata karena pandangannya yang agak buram, namun masih bisa ia kenali sekitarnya: ruangan bernuansa hijau lembut beraroma minyak kayu putih, juga selimut abu-abu bermotif logo Akusara. Selimut itu menutup kakinya sampai ke pinggang. Di UKS ya gue?

Suara berdehem yang dibuat-buat, menarik perhatian Riang untuk menoleh ke sisi kanan. Dalam jarak sekitar tiga meter, seseorang tengah menghadap ke arahnya, dengan wajah dalam mode blur.

"Udah pingsannya?" tanya suara itu, sambil menyeruput segelas teh manis hangat, "Kaca matanya ada di samping kiri." Tunjuknya ke arah nakas di kiri bed.

Segera saja Riang mengetahui identitas sosok tadi dari suara yang ia dengar. Ia meraih alat bantu miopia ringan yang terletak dalam jangkauannya itu dan bergegas memakainya.

Ketika pengihatannya kembali jernih, Riang bergeming mendapati paras Sinar yang kini terlihat dalam mode high definition sedang menatapnya dengan intens. Cowok itu duduk dengan kaki menyilang, bersandar pada dinding di samping pintu yang terbuka lebar. Gue dimandorin nih ceritanya? Gitu banget ngeliatinnya.

Sedetik kemudian Riang memalingkan wajah, teringat saat-saat sebelum kesadarannya menguap tadi. Aduh malu, tadi gue pingsan di depan cowok ini... gak sih?

"Tadi lagi ngapain emangnya... kok Lu tiba-tiba jadi kayak gitu? Gua kira kesurupan, udah siap-siap aja mau manggil pak ustadz buat ruqiyah," oceh Sinar menyembunyikan kekhawatirannya dengan gurauan.

Riang mendelik sebal dengan lanturan Sinar, "Gue belum bisa mikir," jawabnya singkat sambil memijati pelipisnya pelan.

Napas Riang yang tadi sempat sesak kini terasa normal seperti biasa, namun kepalanya masih terasa pusing. Untunglah di sini tidak berisik, karena UKS ini terletak bersebelahan dengan deretan ruang klub yang sepi di jam belajar, hingga yang terdengar hanya suara samar dari sekitar.

"Novelavender..." gumam Riang, ketika telinganya tak sengaja menangkap siaran berita dari televisi di ruang jaga pembina UKS, yang berada di balik dinding tempat Sinar bersandar.

Sinar yang diam-diam mengamati Riang, mendapati ekspresi cewek itu kembali tegang. Waduh kenceng banget tuh urat muka, ngeri gua takut dia mengap-mengap kayak tadi. Sinar ingin melemparkan banyolan agar Riang kembali rileks, tapi urung ia lakukan.

Cowok itu menggaruk kepalanya yang tak gatal akibat mati gaya menghadapi cewek di hadapannya ini, sementara Riang sebenarnya tengah kembali teringat berita tentang apartemen dan mimpinya yang aneh tadi.

Terdengar gemeletuk pantofel, disusul sosok berhijab biru bu Ika yang masuk ke ruang perawatan, ia tersenyum sumringah melihat Riang,

"Alhamdulillah... Riang udah siuman. Maaf tadi ibu lagi ada telepon penting pas denger suara kalian ngobrol. Minum dulu teh man-" Bu Ika melotot pada gelas kosong di samping Sinar, "ya ampun Sinar! Itu buat pasien!" omel Bu Ika sambil berkacak pinggang, sedangkan cowok itu hanya nyengir kuda.

"Maaf Bu, kirain buat saya."

Bu Ika menggeleng-gelengkan kepala, lantas menghampiri Riang, "Apa yang dirasa, Riang?" tanya bu Ika lembut, memegang kening dan memindai wajah cantik siswinya yang masih tampak pucat.

Riang menatap bu Ika sejenak kemudian angkat bicara, "Saya sudah baik-baik aja, Bu." Riang menjawab sopan. Perlahan beringsut, bersiap turun dari ranjang UKS.

"Kalau masih pusing, di sini aja dulu. Lagi pula tadi Sinar bilang, kelas kalian sedang jam kosong. Ibu buatin jahe anget ya," ujar Bu Ika akan segera beranjak, namun Riang mencegah,

"Gak usah Bu, saya minum air putih aja."

Bu Ika memberi kode pada Sinar untuk mengambilkan air mineral kemasan di meja, dan langsung dilaksanakan agar tak dimarahi lagi.

"Kamu sudah makan?" tanya Bu Ika setelah Riang menghabiskan minumannya.

Riang mengangguk, ia sudah makan banyak karbohidrat pagi ini.

"Dia kayak sesek napas gitu Bu tadi," tukas Sinar kemudian tatapannya beralih pada Riang, "Lu punya penyakit asma?" tanyanya kemudian.

"Enggak ada riwayat asma. Mungkin kecapean aja, Bu," tukas Riang sekedarnya, hanya agar atensi dari dua orang di hadapannya itu segera berakhir, ia merasa kurang nyaman diperhatikan begini.

Bu Ika mengernyitkan dahi. Seberat itukah hidup siswa masa kini? Sampai bikin sesak napas. Petugas UKS itu mengambil ponselnya, bermaksud hendak menghubungi orang tua Riang, "Ibu minta kontak orang tua Kamu ya, biar bisa menjemput. Khawatir Kamu kenapa-napa."

"Gak usah Bu!" pekik Riang spontan mengagetkan bu Ika, "eh... maaf. Maaf Bu, gak usah hubungi orang tua saya. Mereka sedang kerja, takutnya malah mengganggu. Saya beneran udah baik-baik aja kok, Bu. Nanti kalau ada apa-apa saya ke sini lagi," tutur Riang, ia tak mau ibun atau ayahnya tahu perihal kejadian ini.

Lihat selengkapnya