Halaman Sembilan

verlit ivana
Chapter #8

Irisan Dua Lingkaran

Sinar mengantongi bekas kemasan biskuit, dan menutup biografi seorang lelaki penyuara kemanusiaan yang telah selesai dibaca. Ia menyeka sudut matanya yang sedikit basah dan menghela napas berat. Paman. Gara-gara paman nih, gue jadi baca buku yang kayak gini.

Kemudian ia berjalan menelusuri rak, mencari-cari sebuah judul yang masih berkaitan dengan biografi tadi. Jemarinya berhenti di sebuah kumpulan puisi bersampul jingga, lalu menukarnya dengan buku di tangan. Sejenak ia membuka-buka kumpulan puisi itu, yang kertasnya sudah tak lagi kaku oleh jejak pembaca dan kelembaban udara. Lagi, ia mengela napas berat, lalu memasukannya ke dalam tote bag toko bersama pesanan para kawan.

Setelah bebasa-basi dengan tetangga sambil menutup daun jendela, bujang itu melangkah meninggalkan Jenak Hening. Kemudian setibanya di pintu rumah, hidungnya mengendus sebuah aroma mie instan yang menggetarkan lambung.

Tidak! Gak usah pengen. Ini godaan pelemah otot perut!

Ia akhirnya masuk ke dalam ruang keluarga, melewati aki yang sedang menyeruput kuah mie, dan langsung duduk di depan laptop, "Aki, aku pinjam buku ya!" lapornya dengan ceria.

Aki meletakkan mangkok kosong dan menghampiri Sinar yang mengeluarkan cukup banyak buku dari tas, "Maksimal dua lho," ujar aki mengingatkan.

"Iya, ini pesenan temen. Ada beberapa orang yang pinjem, lumayan kan buat isi bensin," jawab Sinar seraya mengetikkan judul buku dan ID keanggotaan teman-temannya.

"Yah asal dibalikin tepat waktu aja. Kalau yang itu.., pesanan temen juga?" tanya aki seraya menunjuk buku dengan judul yang membuat hatinya tercubit.

Sinar bergeming, segera meraih buku bersampul jingga dan cepat-cepat menjauhkannya dari aki, "Bukan! Kalau yang ini buatku," jawabnya serius, menatap lurus wajah keriput itu.

Aki menegak saliva. Tangannya terulur dan meremas tulang bahu Sinar, "Jangan macem-macem, Anak muda," tukasnya, lalu melangkah pergi.

"Wah tidak janji ya," jawab Sinar dengan seringai, namun kemudian ia tersadar ada getar dalam suara aki. Hatinya pun merasa ngilu.

Ia terlupa jika hati tua sang kakek masih luka. Luka yang belum kunjung sembuh. Namun dengan bodohnya ia memantik ingatan tentang hal tersebut. Harusnya gue ambil diam-diam aja buku ini tadi biar aki gak liat.

Anak lelaki itu semerta bangkit dan mengejar langkah aki, lalu memeluk punggung lebar sang kakek yang masih bugar, "Maaf aki, aku gak bermaksud...."

Aki tak menjawab. Pria bermata kelabu itu hanya diam seraya menepuk-nepuk lengan sang cucu, yang amat mirip dengan mendiang anak laki-lakinya.

***


Di dalam rumah sebuah cluster kota mandiri, ibunda dan ayah Riang yang sedang serius berbincang seketika terdiam, ketika anak semata wayang mereka turun dari lantai dua dengan rambut setengah basah yang dibiarkan tergerai. Gadis itu memang tidak tidur di kamarnya semalam, tapi semua barang termasuk perlengkapan sekolah, masih berada di sana.

"Riang mau bareng ayah aja gak berangkatnya? Kebetulan ayah mau cetak gambar di deket sekolah Kamu," sapa sang ayah, pria berjanggut tipis itu sudah siap dengan T-Shirt berkerah batik, yang merupakan seragam kantornya di hari jum'at.

Gadis itu mendongak menatap sang ayah, lalu beralih menatap ibundanya yang masih belum mengenakan jilbab, wanita langsing itu bahkan masih memakai daster yang semalam dipakai tidur.

"Ibun hari ini enggak ngantor. Terus mumpung di rumah, mau sekalian coba mikirin kamar tidur Kamu. Tapi sementara, Kamu tidur sama ibun dulu, atau kita pikirkan lagi nanti enaknya gimana," tukas ibun seraya menyiapkan roti panggang untuk mereka bertiga.

Dalam hati Riang merasa terharu, ternyata ayah dan ibunda memikirkan permintaannya untuk pindah kamar.

"Oh, yaudah. Aku berangkat bareng ayah," tukasnya kemudian seraya berjalan menuju meja makan.

Suami istri tersebut saling menatap beberapa detik, seolah berdiskusi dengan mata mereka. Kemudian ayah terlihat menghela napas, sedangkan ibun mengangguk-anggukkan kepalanya dengan bibir rapat. Keluarga kecil itupun lalu menyarap dalam hening, sampai akhirnya bibi muncul dari dapur membawakan tiga gelas jus apel. Hari ini dia datang pagi, yang artinya akan pulang lebih awal.

Lihat selengkapnya