Halaman Sembilan

verlit ivana
Chapter #11

Tembok Bicara

Adzan maghrib berkumandang tepat ketika Vespa pink Sinar tiba di depan rumah bergaya mediterania yang didominasi warna cokelat muda.

"Makasih banyak ya Sin. Maaf banget gue ngerepotin," ucap Riang tulus setelah menuruni motor, seraya menyerahkan helm.

Sinar mematikan mesin Vespa yang terdengar berisik karena suasana di sana cukup sunyi, nyaris tak ada suara selain adzan maghrib yang membuatnya tercenung sejenak,

"Iya, sama-sama. Jangan kebanyakan bengong, takut kesurupan. Yaudah gua langsung pulang, ya," pamit Sinar lalu memutar balik kendaraannya setelah mereka bertukar salam.

Selepas kepergian Sinar, Riang beranjak menuju pintu masuk yang dihiasi ornamen lengkung. Mengingat keberadaan ibundanya di rumah, gadis itu mengatur napas sejenak sebelum akhirnya masuk dan mengucap salam. Benar saja, ibun sudah menyambutnya di ruang tamu. Seusai membalas salam Riang, wanita itu langsung mengomel,

"Bagus! Abis ngapain Kamu pulang sama cowok? Mana susah banget dihubungin dari tadi."

"Habis sewa buku, yang anter aku itu tadi temen sekelas, tempat penyewaannya punya dia. Hape aku lowbat Bun. Ada apa emangnya?" Riang berusaha memberi informasi lengkap dengan nada serta ekspresi datar.

Berdasarkan pengalaman, cara ini cukup ampuh untuk tidak memperpanjang omelan ibundanya. Dalam hati ia meruntuki kealpaannya untuk mengisi daya ponsel di rental tadi.

"Mau minta pilih wallpaper buat kamar, tadinya ibun mau pesan hari ini. Tapi Kamu gak bales-bales, yasudah besok saja. Mandi sana, shalat maghrib!" titah Ibun akhirnya.

Riang sempat hendak menanyakan soal temuannya di Jenak Hening, namun melihat ibunya itu sedang bad mood, ia pun urung bertanya dan memilih naik ke lantai atas untuk membersihkan diri.

Gue akan cari waktu buat nanya, kenapa bisa terukir inisial gue di dalam Jenak Hening. Padahal gue kan baru pertama kali ke sana.

Seusai shalat maghrib bersama ibundanya, Riang masuk ke dalam kamar, gorden yang sudah tertutup rapat membuat gadis itu lega. Mengingat tadi sempat berada dalam jarak dekat dengan Novelavender, Riang bergidik. Astaghfirullah. Ketriger apa gue sebenernya?

Riang baru saja hendak mencari coretan masa kecilnya di kamar untuk melupakan rasa tidak nyaman dalam benaknya, tapi melihat keseluruhan dinding kamar yang dicat biru muda, menepis harapan gadis itu. Diambilnya marker hitam, berencana membuat lagi coretan masa kecilnya di sana.

Kata ibun gue coret-coretnya di bawah jendela. Apa di sini ya? Ah ga jadi deh, nanti dimarahin kalau kotor. Ibun kan rada OCD.

Riang pun duduk di kursi belajar, mendengarkan keriuhan dalam kepalanya. Tanpa sadar, ia membuat sketsa berbentuk manusia-manusia tanpa wajah di atas meja.

***

Aki dan Sinar berjalan beriringan dalam cahaya remang. Mereka berdua baru pulang dari masjid kampung. Udara malam yang sejuk, membuat suasana hati menjadi nyaman meski jalan yang mereka tapaki tidak rata dan hanya diterangi lampu jalan seadanya.

"Temen Kamu tadi siapa namanya?" tanya Aki.

"Dia Riang, tapi orangnya enggak sesuai sama nama," jawab cowok yang kini mengenakan baju koko biru tua itu singkat.

"Ish! Dari masjid kok ghibah," tegur Aki, ia menjeda untuk bertukar sapa dengan sesama warga, "Riang ini..., suka melukis?" tanyanya kemudian.

Sinar terdiam sejenak, menimbang jawaban yang tepat, "Iya, aku juga baru tau tadi kalau ternyata dia ikut klub seni. Aki tau dari mana ya? Oh iya, mungkin dari buku yang dia pinjem.

"Wah tidak perhatian sekali, sudah berteman lama tapi kok baru tau,"

"Dia emang pendiam orangnya, kayak males bergaul sama orang lain. Agak gak nyangka sebenernya."

Aki mengangguk-anggukan kepalanya seraya tersenyum tipis, teringat akan seseorang yang memiliki kegemaran yang sama. Perjalanan pun kembali tanpa obrolan sampai dua orang tersebut tiba di rumah,

"Lain kali ajak lagi tembok cantiknya ke sini," tukas sang kakek seraya berlalu ke dalam rumah, dan langsung memasuki sebuah kamar tak berpenghuni.

Lihat selengkapnya