Halaman Sembilan

verlit ivana
Chapter #10

Sore Bersamamu

Di kantin Akusara, Riang tengah menyantap bakso bersama Lian. Gadis berambut pendek dan mata sipit tersebut menyeringai sambil memperhatikan teman semejanya.

"Lo seneng banget ya mau pergi sama Sinar?" tanya Lian yang mendapati sudut bibir Riang senantiasa tertarik ke atas sejak tadi.

Riang menaikkan alis matanya sebelah, "Seneng gegara mau pinjem komik kali, ah. Udah jarang gue liat rental buku, kan lumayan gak harus beli tapi bisa baca banyak,"

"Coba Lo cerita kalau suka komik, padahal gue punya lho koleksi di rumah. Si Sinar juga udah sering nyewain buku sebenernya, tapi karena Lo cuek aja, jadi gue kira emang gak tertarik."

Riang tercenung sambil mengunyah bakso. Masa sih gue melewatkan perputaran komik di kelas? Hm, kalau Lian juga punya, lain kali kayaknya bisa nih tukeran buat dibaca.

"Oiya, klub Lo lagi ada acara bukan? Persiapan bikin mural-mural gitu," tanya Lian, yang mendapat info dari temannya di kelas lain, "gue liat beberapa dinding yang mau dipake mulai dibersihin tuh sama tukang,"

"Iya, makanya itu gue bingung. Eh, alamat rentalnya di mana sih?"

"Gue baru ke sana sekali, sendirian pas hari libur. Agak jauh sih dari sini, bisa-bisa malem Lo sampe di sananya kalau abis acara klub."

"Gak apa-apa deh, mumpung besok libur," tandas Riang, jika sudah bertekad ia akan sulit digoyahkan. Apalagi ini soal hal yang dia sukai. Nanti gue izin duluan aja sama kak Angga.

"Ya terserah Lo sih, yaudah nanti gue share lokasinya," tukas Lian.

***

Pembuatan konsep mural di klub masih berlangsung, meski demikian Riang yang bertekad pulang lebih awal, telah merampungkan bagiannya.

"Kak, aku udah selesai. Izin pulang duluan ya, mau ada urusan."

"Oh gak apa-apa kalau Lo udah kelar sih, gue cek dulu sebentar ya."

Angga melihat sketsa yang dibuat oleh Riang dengan seksama. Wah oke nih, terasa pesan positifnya. Meski masih ada kesan dark, tapi gak apa-apa, ini udah ciri khas si Riang.

"Lo lagi seneng ya?" tanyanya melihat wajah Riang yang nampak cerah.

"Ng? Biasa aja tuh Kak. Pamit ya." Riang pun bergegas keluar ruangan dan mengecek ponselnya untuk melihat alamat yang dikirim oleh Lian, tapi ternyata gawainya itu lowbat akibat semalam lupa mengisi daya.

"Yah yaudah deh gak jadi pergi hari ini, percuma dong gue izin lebih awal dari klub. Apa balik lagi aja ya?" gumamnya pelan.

Baru saja Riang berbalik untuk kembali ke ruang klub, ranselnya ditahan oleh tangan Sinar.

"Ih! Lu dicariin dari tadi. Mau ke mana lagi dah?"

Mata Riang kemudian berbinar cerah melihat wajah Sinar yang kusut. Komik!

"Lo ikut ekskul apa emang belum pulang?" tanya Riang seraya membalik badan.

"Eksul nungguin Lu! Bilang dong kalau ada acara dulu. Tega banget bikin gua nyariin..."

Sinar terus mengocehkan kekesalannya, sementara Riang kembali mencerna perkataan cowok kurus itu dengan heran. Yah kan tadi gue juga ga bilang mau bareng. Terus serius dia nungguin gue kelar kegiatan klub?

Mereka akhirnya berjalan beriringan, meski Sinar kadang melompat-lompat atau berjalan cepat sambil menyapa dan menyahuti siapa saja yang ditemui selama melintasi lapangan menuju gerbang, tak jarang ada saja yang ikut menggoda Riang, hal itu membuat gadis itu jengah karena terbiasa berjalan dalam diam, ia pun memilih menghindari kontak mata dengan berjalan menunduk.

Ini harus banget apa semua orang ditegur? Nah lho, ngapain itu dia handspring segala! Perasaan baru copot perban pagi ini deh dia. Dahlah yang penting gue jalan aja sampe gerbang.

"Aduh!" Riang mengaduh karena menubruk ransel Sinar, karena cowok itu tiba-tiba berhenti di depannya.

"Lu liat deh, ke sana!" Sinar menunjuk ke samping kiri.

Mereka berdua berdiri tegak lurus dengan tembok terbobol menuju area bangunan sekolah lama. Riang menoleh ke arah lorong yang pintunya masih terbuka, bahunya bergidik kala menatap tempat ia pernah dikurung itu, di sana tampak gelap dan penuh bayang-bayang, padahal di tempat ia berdiri masih cukup terang karena masih dalam waktu ashar.

"Tau gak, kenapa di sana banyak pohon kemboja?" tanya Sinar tanpa menoleh ke arah Riang, kini dia menghadap lurus ke arah tembok.

Riang menggeleng, "Enggak tau, tapi semoga gak seperti yang gue pikirkan,"

Sinar kembali bertutur dengan nada serius, "Sekolah ini tuh udah tua banget, lho. Mungkin udah puluhan tahun. Udah berdiri sejak di sekitar sini masih banyak hutan dan kebun milik warga, dan sebenernya sekolah ini tuh tadinya kub-"

"Stop!" Riang mengangkat tangannya ke depan Sinar.

"Kenapa? Takut ya Lu?" tanya Sinar sambil menahan tawa.

Gadis berambut gelombang itu menurunkan tangan, dan memegang erat tali sling bag miliknya dengan erat, "Enggak kok! Udah sore, ayo!" Ia lantas berjalan cepat menuju gerbang.

Sinar yang sudah tak bisa menahan tawa akhirnya terbahak, namun hanya sejenak. Selanjutnya ia kembali menatap ke arah bangunan sekolah tua dengan pandangan tajam. Suatu hari, segala yang tersembunyi pasti akan terungkap juga.

Lihat selengkapnya