Panas, cuaca kota ini masih saja terasa gerah. Kemarau sudah demikian panjang, hingga penjaja minuman dingin semakin menjamur. Membuka lapak tetap ataupun mobile dengan beraneka harga, menjangkau segala lapis ekonomi. Siapapun bisa mencicipi selama memiliki kerongkongan, lambung serta niat membeli. Jika niat berhutang, mohon maaf, tidak akan dilayani.
Pukul tiga sore saat itu. Seorang penjaja minuman dengan gerobak sederhana terparkir di samping gang, masuk sedikit dari jalan utama. Pada gerobak silver miliknya tertera tulisan: Liang Teh Lima Ribuan. Tak lama kemudian puluhan karyawan berseragam biru, beriringan keluar dari gerbang pabrik setelah menyelesaikan shift paginya di PT. Kanuja. Beberapa dari mereka melipir membeli es teh, beberapa langsung melaju pergi dengan kendaraan roda dua masing-masing, ada pula yang beriringan menuju pinggir jalan raya untuk menunggu angkutan kota.
Park yang sejak tadi menunggu di bawah pohon rindang seberang jalan raya, akhirnya melajukan motornya ke arah kerumunan karyawan. Ketika mengetahui mereka tengah berada di sekeliling pedagang es teh, Park kemudian mengambil tumblernya dan ikut mengantre untuk membeli.
"Ih kayak anak SD aja Oppa!" tegur wanita muda dengan rabut dikuncir kuda, sembari cekikikan dengan temannya.
Park yang hari ini mengenakan kaus coklat muda berlapis jaket denim dan jeans sobek-sobek, melempar senyum, "Iya emang banyak yang bilang saya imut kayak anak SD." Park tertawa renyah, membuat perempuan-perempuan yang mengerubungi pedagang es tersebut memekik gemas.
Reserse itu merasa geli sendiri dengan ucapannya, namun ia harus mendalami peran demi mendapat informasi, "Ini pabriknya gede ya, yang kerja pasti banyak," tanyanya lagi menatap gerbang pabrik yang terutup, namun sebagian fasad bangunan yang tinggi terlihat dari luar.
"Yah banyak sih, tapi yang diberhentiin juga banyak. Ya kan?" Gadis itu menoleh pada temannya yang mengangguk semangat.
Dahi Park berkerut, "Kok gitu?"
"Mulai banyak yang di-PHK sejak pandemi kemaren, Mas. Ratusan lho. Kabarnya sih karena yang beli baju lebih banyak yang online. Kurang ngerti saya juga."
Park tercenung mengingat isi berita soal banyaknya industri tekstil dalam negeri yang mengalami kebangkrutan.
"Beberapa waktu sebernya gosipnya ada yang order dalam jumlah besar, tapi tau-tau gak jadi."
"Oh itu, katanya si bos jadinya pake barang impor dari luar negri untuk menuhin pesanan itu, jadi ga usah buat kain dan baju lagi di sini, yang kerja tinggal di bagian tambahan aksesoris sama bordir-bordir aja."
Park menyimak saja obrolan mereka yang mengalir itu, memang ibu-ibu itu pertukaran informasinya luar biasa.
"Pernah denger juga katanya itu buru-buru yang order, jadi ga keburu kalau kita yang ngerjain dari nol."
"Alah palingan juga karena lebih murah belinya, gak perlu juga dia resiko ada barang reject yang ga bisa dikirim," tukas ibu-ibu berjilbab sambil mengambil es pesanannya.
Park menyimak curahan hati karyawan yang tampaknya merupakan staf produksi tersebut, "Enak dong gak cape kerja," ucapnya sambil menyodorkan tumbler pada si mamang penjual es.
"Kalau terus menerus, gak ada kerjaan tahap awal, makin tidak diperlukan kami-kami ini. Dipecat dong kami, Mas. Kabarnya ada banyak pabrik lain yang ditutup juga, duh ngeri."
"Mereka para bos itu meski pabrik ini ditelan bumi pun, masih ada usaha yang lain. Bisnis mereka kan dimana-mana. Lha kami?"
Gasdis bergincu merah menatap jauh dan bergumam, "Kalau ada mbak Mae enak ya, ada yang berani ngomong sama atasan. Tapi..., beliau sudah pergi, lebih sedih lagi karena kami taunya dari berita. Oppa tahu kan, berita soal apartemen itu? Orang yang di berita itu, mbak Mae teman kami." Gadis itu menatap Park dengan tatapan duka, polisi itu pura-pura terkejut dan mengangguk-angguk.
Mereka yang tadi ramai seketika terdiam, seolah mengheningkan cipta atas kepergian sosok yang berharga. Bapak penjual es yang tadinya diam angkat bicara, "Ya pokoknya gitu, susah sekarang. Langganan saya di sini, sejak banyak yang kena PHK. Jadi berkurang juga pemasukan saya." Dia menyerahkan tumbler ukuran 300 mili liter milik Park kembali, bertukar dengan uang pas sesuai harga di gerobak.
Reserse muda merasa pedih dalam hatinya, "Yah saya ga bisa ngelamar dong," ujarnya melanjutkan peran.
"Masih bisa kok Oppa, ngelamar saya," seloroh gadis gincu merah, mengundang tawa dan mengusir kemuraman yang tadi sempat menyapa.
Park garuk-garuk kepala menghadapi wanita-wanita tangguh di depannya. Ia celingukan mencari karyawan pria, namun ia merasa tak enak meninggalkan para karyawati yang antusias menjawab pertanyaan pancingan darinya. Tak apalah toh mereka juga banyak memberikan informasi.
"Almarhumah mbak Mae itu satu divisi sama Kakak-kakak sekalian?" Park kembali melempar tanya pada para wanita dangan usia yang tampak berbeda-beda di sana.
"Bukan. Kalau kami bagian produksi, almarhumah itu orang kantor. Tapi dia perhatian sama kami-kami ini, suka menyampaikan kesulitan kami ke bos. Ngurusi juga kalau ada informasi unjuk rasa yang tuntutannya membela kebutuhan kami."
"Iya segitu baiknya dia Oppa, makanya kami tuh kehilangan banget, sekaligus sedih karena enggak tau kalau ternyata almarhumah kesusahan," jawab gadis dengan rambut sebahu.
Wanita bergincu menatap mobil SUV hitam yang keluar dari gerbang dengan jendela terbuka, memperlihatkan seorang pria muda berkemeja rapi dengan kulit bersih, ia tersenyum kalem pada karyawan yang ia lewati menuju jalan raya.
"Itu Mas Liam, pasti dia yang paling kehilangan. Lha ya kabarnya mereka mau nikah lho. Mau bahagia tapi malah ma-" Ucapan si gincu terhenti karena dipeototi temannya yang lebih tua.
"Hush! Udah, jangan diterusin. Doakan saja almarhumah," ujar wanita berjilbab seraya melotot pada si gincu merah.