"Suatu saat, akan kuceritakan sebuah kisah.
Tentang aku dan mentari.
Tentang aku dan langitnya.
Antara kita yang tak pernah sama,
antara kita yang senantiasa berbeda.
Rangka waktu memutar cerita.
Kisah kita berlalu menoreh rasa.
Jalan yang kita pilih kadang melintang
Tak ada kuasa untuk ditentang?
Harusnya kita menepi!
Harusnya kita menyepi!
Bermanja sejenak pada ilusi
merentang damai meskipun sekedar dalam ukiran mimpi."
~&~
Alunan instrument piano Time Forgets milik Yiruma, mengalun, mengitari ruang bercat putih,bertahtakan buku – buku yang tertata rapi memenuhi nyaris di setiap sudut. Tirai jendela berwarna senada mengepak oleh desauan angin.
Sunyi, meskipun lantunan itu terus memutar tanpa henti. Bergema dari satu melody ke melody yang lain.Tak ada tanda-tanda keramaian. Hanya gesekan kertas disibak perlahan.
Terlarut dalam kesunyian.Bahkan sekedar helaan nafas, akan terdengar layaknya teriakan, memekakkan.
Namun, percayalah. Kesunyian ini adalah kedamaian abadi yang paling menenangkan.
Di pojok ruang perpustaakaan pribadi milik keluarga Tuan Dhala, Tanrica, sang putri tunggal yang berusia 18 tahun, duduk khidmat menelaah setiap kata demi yang tercetak pada sebuah buku fiksi setebal 200 halaman.
Sekarang ia telah sampai pada halaman ke 100, namun terus mengulang kembali ke halaman-halaman sebelumnya, seolah banyak untaian kata tertinggal, sukar menyatu pada bait demi bait di halaman berikutnya.
Sudah 2 jam lamanya Tanrica berkutat dengan berbagai macam bacaan di sekelilingnya. Ia yakin, tak lama lagi Nayra, sahabatnya, akan muncul, mengajaknya pergi ke Green Mosque karena senja mulai terasa.
Benar saja. Tak lama berselang, pintu kayu dingin di perpustakan itu diketuk oleh tangan lembut seorang gadis.