Grup alumni itu bisa buat semangat. Bisa buat nyali merosot cepat.
Bagaimana tidak?
Kalau yang disebar adalah berita-berita seputar dagangan online yang sedang dirintis teman-teman, maklumlah. Anak muda lagi semangat-semangatnya memulai bisnis start up. Jualan kaos, kosmetik, pernak pernik stationery, sampai tiket konser. Lemon tidak bisa beli semuanya. Paling-paling pas ada promo atau memang temannya sedang galang dana.
“Annyong, Chinguyaaa! Mau ikut nonton film Korea yang dapat penghargaan di festival Cannes dan dapat Oscar? Parasite judulnya. Yuk, nobar. Infak sukarela. Dana disalurkan buat sekolah anak-anak kolong jembatan.”
Atau,
“Temans! Sie dana jual book note cantik. Keuntungan seratus persen untuk acara pameran sains yang diselenggarakan oleh BEM fakultas.”
Atau,
“Ada yang mau nyoba minuman baru punyaku? Aku lagi merintis bisnis café kecil-kecilan.”
Atau,
“Tolong follow dan like IG aku, ya. Aku buat camilan murah meriah kayak frozen food.”
Hal-hal yang semacam ini masih oke di mata Lemon. Terlebih jika ada temannya yang sakit, atau orangtua temannya yang sakit, atau mantan guru yang tertimpa musibah, Lemon cepat tersentuh.
Alumni SD, tempo hari mengabarkan guru matematika mereka terkena leukimia.
“Yuk, kita galang dana,” ajak eks ketua kelas 6 SD.
Maski tabungan Lemon tak banyak-banyak amat, ia keluarkan untuk sumbangan. Apalagi guru matematika yang dikenalnya tersebut hidup sangat sederhana.
“Dewi dirawat di rumah sakit,” sebar salah seorang teman di grup SMP. Dewi salah seorang teman sekelasnya. “Mohon doa, ya.”
Kadang, ada teman yang berkenan disebarkan jenis sakitnya. Ada pula yang ingin dirahasiakan. Yang penting minta dikirimi doa.
Grup apa yang paling membuat patah semangat?
Grup SMA.
Termasuk postingan teman-teman SMA nya di instagram.
Awal kelulusan dulu, semua terasa biasa saja.
“Doakan ya, aku diterima di UI.”
“Doakan aku bisa kuliah di Bandung, kampus apa aja. Pokoknya Paris van Java.”
“Doakan aku bisa masuk fakultas kedokteran.”
“Doakan aku, Teman-teman. Bisa masuk UGM. Kampus turun temurun sejak kakek nenekku, pakde budeku sampai papa mamaku.”
“Doakan aku masuk teknik, ITB atau ITS.”
Lemon pun meminta dukungan doa dari teman-temannya : dunia gambar menggambar yang sudah sekian tahun diminatinya.
Tahun ke-2, grup alumni SMA tetap ramai.
“Doakan ya, aku bisa lolos kedokteran. Tahun kemarin nggak masuk.”
“Aku sudah diterima farmasi, tapi pingin nyoba FK.”
“Aku sudah di FKG, tapi kata orangtuaku diminta nyoba FK.”
“Aku mau mencoba masuk sekolah kedinasan seperti STAN, supaya gak lama-lama kuliah. Tahun kemarin sudah nyoba, tapi gagal. Semoga kali ini sukses.”
Lemon masih setia meminta dukungan dari teman-temannya : dunia gambar menggambar atau yang dekat dengan desain, atau yang dekat dengan seni visual.
Tahun ke-3, grup alumni SMA tetap ramai dan Lemon mulai merasa ada yang salah dengan dirinya.
Sebagian teman-temannya telah sukses memasuki semester lima. Sebagian mengulang dari semester satu dan berhasil masuk ke fakultas serta kampus impian. Sebagian bahkan mulai memposting berita keberhasilan.
Menuju short course di Jepang. Doakan yaaa.
Ke negeri para oppa untuk Korean studies.
Karya ilmiahku beserta tim maju ke babak berikut. Selamat datang, Barcelona!
Tahun ketiga belum berarti apa-apa bagi Lemon. Karena orangtuanya sudah mulai memberikan nasihat, wawasan, atau ancaman. Atau pilihan. Atau apalah. Bahwa sebagai anak pertama Lemon harus realistis. Ia harus segera menentukan pilihan. Kalau dua tahun gagal masuk ke desain grafis sesuai yang diimpikannya, ia harus kuliah di mana? Jangan coba-coba sekolah swasta yang mahal! Kios plastik ayah ibunya bisa bangkrut! Cari kuliah yang tak mahal-mahal amat dan cepat kerja. Apa yang disediakan takdir untuk Lemon adalah pilihan yang sekarang : kampus swasta yang namanya tak terlalu dikenal dan memiliki fakultas pendidikan untuk menjadi guru sekolah dasar.