Pasar belum terlalu ramai pembeli.
Akhir pekan, kalau tidak ke kampus, Lemon akan segera bergabung di kios plastik orangtuanya.
“Mooon, taruh botol plastik model bola lampu itu di pojok!” ibu berseru.
“Pojok mana?” Lemon bertanya.
“Pojok pintu!”
“Pintu mana?” Lemon mengedarkan pandangan. Sudah tidak ada lagi yang namanya pojok kosong di toko mereka.
“Pintu mana aja, haduhhh!” ibu mulai mengeraskan suara. “Yang dekat kamar mandi, apa dekat pintu masuk ke belakang.”
Los yang dimiliki orangtua Lemon memang lumayan besar, sebetulnya. Terdiri dari dua ruang memanjang ke belakang seperti gerbong kereta api. Adalah kemewahan memiliki kamar mandi sendiri di los pasar. Walau kamar mandi kecil itupun bagian atasnya bertumpuk-tumpuk barang.
“Tapi sini penuh, Bu!” Lemon meletakkan dua lengan di pinggang.
“Ya ampun, Mon. Ya udah ditumpuk-tumpuk aja. Disesel-sesel. Diselip-selipkan gitu.”
Diselipkan gimana? Ditumpuk macam apa? Disesel model gimana?
“Ini udah gak bisa, Buuu!”
“Coba diatur-atur sendiri, Nduk…”
“Nggak bisa,” potong Lemon. “Penuh ini. Nggak bisa!”
Ibu, yang semula berkutat dengan catatannya, sedikit membanting alat tulis dan berjalan mendekat ke arah Lemon.
“Kamu gini aja ndak bisa? Nona disuruh sekali langsung ngerti!”
“Aku sama Nona beda!” dengus Lemon, menyebut nama adiknya. “Dia kan memang selalu lebih pintar.”
“Apa?” ibu menghardik, meminta Lemon mengulang kalimat.
“Nggak, nggak papa,” Lemon buru-buru menolak, bersyukur ibu tak mendengar.
“Kamu itu kalau disuruh selalu saja ngelawan.”
“Aku nggak ngelawan,” Lemon meralat. “Aku cuma tanya : ini udah penuh semua, terus mau ditaruh di mana?”
“Halah, ada aja alasanmu,” ibu mendengus sebal. “Gini. Lihat!”
Ibu mengatur tumpukan botol-botol plastik. Lebih mepet. Lebih tersusun. Lalu ditumpuk-tumpuk lagi.
“Ini kan ringan, Mon. Jadi ditumpuk-tumpuk ya nggak papa.”
Lemon menggumam tanda mengerti,” Oooh, gitu.”
“Ya gitu!” ibu mengulang refleksi Lemon. “Makanya, segala sesuatu itu dicoba dulu sebelum bilang nggak bisa. Dikit-dikit nggak bisa.”
“Ya …emang nggak bisa…”
“Nah. Nah!”
“Buuu!” bapak menyeruak tetiba. Menggotong botol-botol plastik dibantu Lutfi, salah seorang karyawan loyal keluarga mereka. “Pagi-pagi nggak usah berantem. Malaikat yang bagi rejeki pada kabur nanti.”
“Anakmu itu, Pak, pagi-pagi udah ngomel,” gerutu ibu.
Ngomel?
Anakmu?
Ibu kalau marah lucu, batin Lemon. Emang aku cuma anaknya bapak? Dan perkataan itu meluncur begitu saja.
“Aku kan anaknya ibu juga,” sindir Lemon.
“Hush, Nduk,” bapak menegur sembari tersenyum. “Kamu itu nggak kapok ya lihat ibumu ngamuk?”
Lemon tersenyum lebar.
Tangannya segera lincah menyusun botol-botol yang baru tiba, meletakkan seperti perintah ibu. Menumpuk-numpuk. Menyelisipkan di sela-sela. Botol-botol itu masih tersimpan rapi dalam kantung plastik bening ukuran besar, sebesar drum minyak. Benar kata ibu, botol-botol itu hanya butuh ditumpuk-tumpuk. Sampai tinggi juga tak apa, karena berbahan baku ringan.
Dan…
Tumpukan palstik itu, terutama bagian paling atas, seperti sebentuk lingkaran senyuman yang mengejek ke arah Lemon yang berkacak pinggang menatap penuh kemenangan ke arah hasil karyanya. Ada getaran kecil yang menggoyangkan kemapanan, sebelum botol-botol itu miring. Menjorok maju. Lalu tumpah ruah ke tubuh Lemon yang menjerit heboh.
“Bapaaaaaak!”
Bapak dan Lutfi segera membongkar tumpukan, mengeluarkan Lemon yang pucat pasi. Sementara ibu, seperti biasa, lebih suka melepaskan kejengkelan daripada mengkhawatirkan Lemon.
“Ya ampun, Nduuuk! Kamu itu apa nggak bisa kerja yang rapi? Itu yang bagian bawah sendiri belum dirapikan. Sampai kuat. Bisa menopang tumpukan di atasnya!”
“Ibu kan nyuruh aku numpuk aja…,” Lemon meringis, mengusap-usap lengan dan pelipisnya yang lumayan memar.
*****