Kalau Isaac Newton tahu bahwa hukum ketiganya bisa berlaku untuk urusan cinta, dia pasti nulis buku baru:
“Setiap aksi nabrak ketua OSIS akan menimbulkan reaksi berupa malu tingkat nasional.”
Dan sayangnya, aku adalah bukti hidup teori itu.
Keesokan harinya, seluruh kelas udah tahu soal “insiden jus jambu” itu.
Terima kasih kepada Rere, reporter tidak resmi yang seharusnya kerja di gosip sekolah update edition.
“Raina, katanya kamu sengaja nyiram Arval biar dapet perhatian?” bisik salah satu teman sekelasku.
Aku nyaris kejang. “TIDAK! Itu kecelakaan ilmiah!”
“Ilmiah gimana?”
“Karena ada gaya gravitasi yang salah sasaran.”
Dan tawa satu kelas pun meledak.
Aku hanya bisa menunduk, pura-pura fokus ke buku Fisika, walaupun di halaman depannya masih ada tulisan besar:
Proyek Dekati Arval — Tahap 1: Gagal Total.
Aku menutup buku itu dengan desahan dramatis.
“Eh, ngomong-ngomong,” kata Dita sambil membuka pengumuman dari grup kelas, “guru fisika bilang minggu ini kita bakal dapet proyek kelompok.”
Aku langsung mendongak. “Proyek kelompok?”
“Iya, dan katanya sistemnya diundi.”
Kata “diundi” adalah kata paling berbahaya di dunia, karena bisa berarti dua hal:
Nasib buruk akan datang.
Atau keajaiban semesta sedang menyiapkan kejutan absurd.
Dan... ternyata semesta sedang berniat mengujiku.
Nama-nama diumumkan oleh Pak Danu di depan kelas dengan nada serius, seperti sedang membaca hasil ujian nasional.
“Kelompok tiga, Raina Alverina...”
Aku menegakkan badan.
“...dan Arval Kaesyn.”
Seketika, ruangan jadi sunyi.
Rere langsung menatapku dengan mata bulat seperti ikan cupang.