Pagi di SMA Lazuardi terasa lebih berisik dari biasanya.
Raina melangkah ke kelas sambil membawa segelas besar es cokelat dan harapan palsu yang baru.
Sudah seminggu berlalu sejak tugas fisika mereka selesai, tapi pikirannya masih terjebak di satu titik, Arval Kaesyn.
Cowok itu bukan cuma dingin, dia kayak personifikasi dari Wikipedia manusia versi tanpa emosi.
Tapi anehnya, semakin cuek Arval, semakin penasaran Raina jadinya.
“Kenapa sih, Ra? Kamu kayak kesurupan tiap kali lihat dia lewat,” bisik sahabatnya, Dita, sambil mengeluarkan bekal.
“Kesurupan kagum, mungkin,” jawab Raina sambil menatap ke arah lapangan, tempat Arval baru saja lewat dengan seragam rapi dan ekspresi abadi, datar.
“Tuh liat, dia lewat aja kayak adegan slow motion.”
“Yang slow itu kamu, bukan dia,” sahut Dita malas.
“Enggak ngerti deh, apa enaknya suka sama manusia yang kayak batu es.”
Raina tersenyum tipis.
“Justru itu tantangannya. Es batu kalau kena panas lama-lama cair, kan?”
“Ya, tapi kamu yang keburu meleleh duluan.”
Bel istirahat berbunyi, dan seperti biasa, Raina memilih nongkrong di perpustakaan.
Tapi kali ini, takdir punya rencana kecil yang aneh.
“Raina Alverina?” suara itu membuatnya menoleh cepat.
Di sana, berdiri Arval dengan map di tangan dan wajah serius yang seperti nggak tahu arti senyum.
“Eh, iya, kenapa?”
“Kamu kan satu kelompok di proyek Fisika. Ada tambahan laporan dari Pak Danu, katanya hasil percobaan kita belum lengkap.”
“Ha? Tapi kan udah sempurna—eh maksudku, udah bagus.”
“Dia bilang datanya kurang dua percobaan. Kita ulang sore ini di lab.”
“Oh, jadi… kita bakal berdua lagi?”
“Ya.”
“Oh…”
Raina hampir bersorak, tapi menahan diri.
“Baik, saya siap melaksanakan misi ilmiah ini, Pak Ketua OSIS!”
“Jangan panggil aku itu.”
“Oke, Pak Arval.”
“Raina.”
“Oke, oke. Arval aja.”
“…Ya.”
Sore itu, lab fisika sepi. Hanya suara detik jam dan cahaya oranye dari jendela.
Arval sudah datang lebih dulu, tentu saja.
Raina datang terlambat dua menit dan sudah panik seperti mau sidang skripsi.
“Maaf, aku nyasar ke ruang biologi dulu. Kupikir alat percobaannya di sana.”
“Kalau kamu nyasar ke ruang biologi, kamu bakal nemu mikroskop, bukan sensor suhu.”
Raina menatapnya kagum. “Kamu hafal semua isi sekolah, ya?”
“Kalau kamu baca denah di dinding, kamu juga bisa.”
Plak. Satu lagi jawaban datar masuk ke hati.
Mereka mulai merangkai alat percobaan. Arval sibuk mencatat hasil, sementara Raina berjuang menyalakan kabel yang sepertinya punya dendam pribadi padanya.