Hallo, Cinta Yang Kutulis Di Catatan Fisika

Mba Rerima
Chapter #6

Bab 5 - Les Dadakan

Pagi itu terlalu cerah untuk disebut menyenangkan. Langit biru, awan putih, dan burung-burung yang seolah sengaja bernyanyi di depan jendela kelas, semuanya tampak indah kalau bukan karena satu hal.

Pelajaran pertama hari itu adalah fisika.

"Kenapa sih Tuhan ngasih aku otak yang lebih cocok buat hafalan, bukan buat rumus?" gumam Raina sambil menopang dagu, matanya menatap kosong ke papan tulis penuh simbol dan angka yang seolah menertawainya.

Dita, sahabat sebangkunya, sudah sejak menit ke-10 kehilangan semangat hidup. Rambutnya acak-acakan, dagu hampir menyentuh meja.

"Ra... kalau aku mati sekarang, tolong tulis di batu nisanku: Gugur di medan perang karena gaya gravitasi dan rumus momentum," bisiknya pelan dengan nada tragis.

Raina mendengus geli. "Tenang aja, Dit. Aku tulis pakai spidol warna pink biar matching sama aura penderitaanmu."

Guru mereka, Pak Haris, masih sibuk menulis di papan tulis, sesekali berdehem dengan ekspresi serius khasnya.

Suara kapur yang bergesekan pelan itu anehnya jadi seperti lagu nina bobo buat Raina. Entah karena AC yang terlalu dingin atau efek sarapan tadi yang terlalu kenyang, matanya mulai terasa berat.

Beberapa menit kemudian, kepalanya bersandar di tangan. Lalu... gelap.

•••

"Raina! Dita! Bangun!"

Sebuah gulungan kertas melayang dan-plak!-mendarat sempurna di kepala Raina. Ia terlonjak, matanya langsung terbuka. Dita pun ikut tersentak dari mimpi indahnya tentang dunia tanpa fisika.

"Hah?! Gempa?!" seru Dita setengah sadar.

"Gempa otakmu!" sahut Rere dari dua baris depan sambil menahan tawa. "Bangun cepat! Pak Haris lagi nengok!"

Raina langsung duduk tegap dengan gaya paling polos yang bisa ia tampilkan. "Saya paham, Pak, jadi kalau percepatan dan waktu dikalikan-"

Pak Haris menatapnya. "Kamu ngomong sama siapa, Raina?"

"Ehe... diri sendiri, Pak. Biar makin nempel ilmunya," katanya sambil senyum canggung.

Dita nyaris tertawa, tapi segera menutup mulut. Sementara Rere di depan sudah hampir terbahak tapi berhasil menahannya sampai bel berbunyi, penyelamat sejati umat siswa.

Pak Haris menepuk meja pelan. "Baik, sebelum kalian lari, saya kasih tugas. Dikerjakan hari ini dan dikumpulkan sore. Topiknya, Hukum Newton dalam Kehidupan Sehari-hari. Dan jangan pikir saya nggak tahu siapa yang tidur di jam saya tadi."

Tatapan Pak Haris menembus dua arah. Tepat ke Raina dan Dita.

Mereka hanya bisa tertawa kering.

Jam istirahat tiba, tapi Raina sama sekali tidak terlihat panik seperti Dita.

"Ra, serius, kita harus ngumpulin tugas sore ini!" keluh Dita. "Aku aja belum tahu mau bahas apa!"

Raina hanya mencomot sepotong roti dari bekalnya dan mengunyah santai. "Tenang aja, Dit. Aku punya rencana besar."

"Rencana besar apa? Nyontek?"

"Lebih elegan dari itu. Aku bakal minta bantuan orang yang ngerti fisika lebih dari Google."

Dita langsung melongo. "Jangan bilang..."

"Yap." Raina tersenyum misterius. "Arval."

Dita nyaris tersedak. "Kamu serius? Itu cowok aja ngomong 'pagi' aja kayak nyesel hidup. Mana mau dia ngajar kamu yang kerjanya ngoceh?"

"Tapi dia satu-satunya harapan umat manusia," kata Raina sambil berdiri dengan aura tekad membara. "Aku nggak bisa biarin fisika ngebunuh nilaiku lagi semester ini. Sekaligus... mungkin ini waktunya aku-uh, memperbaiki citra di depan dia."

Dita menatapnya seperti menatap seseorang yang baru saja kehilangan logika. "Raina, tolong sadar. Dia itu es batu berjalan. Kamu api unggun. Kalian cuma bisa menghasilkan kabut, bukan cinta."

"Tapi siapa tahu dia cair," jawab Raina sambil mengedip.

•••

Beberapa jam kemudian, di perpustakaan sekolah, tempat paling sunyi sekaligus sakral bagi siswa yang dikejar deadline, Raina berdiri di depan rak buku tinggi sambil mendongak.

Ia mencari buku referensi untuk tugas fisika, tapi nasib sepertinya belum berpihak. Lagi-lagi, buku yang ia butuhkan ada di rak paling atas.

Dia mendengus, mengembuskan napas kesal. "Siapa sih yang nyimpen buku setinggi ini, kayak sengaja nyuruh orang pendek menderita."

Raina mendongak, bibirnya sedikit manyun. Kakinya berjinjit, mencoba menggapai buku yang entah kenapa harus terselip di bagian paling atas.

"Sedikit lagi..." gumamnya pelan, ujung jarinya hampir menyentuh punggung buku tua itu. Ia menggeliat sedikit, melompat kecil, sampai raknya bergetar ringan.

Namun buku itu justru tergelincir mundur, makin menjauh dari jangkauan.

Ia mencoba satu kali lagi, mengulurkan tangannya sejauh mungkin.

Dan tepat ketika buku itu mulai bergeser dari tempatnya, sebuah tangan lain tiba-tiba muncul dari sisi kanan dan lebih mudah menjangkau rak atas itu. Dalam satu gerakan ringan buku itu ditarik keluar dari tempatnya.

"...?"

Raina sontak berhenti bergerak, tubuhnya masih sedikit berjinjit. Ia menoleh pelan, dan matanya membulat begitu melihat siapa pemilik tangan itu, Arval.

Lihat selengkapnya