Okta
Aku merasakan bahwa kepalaku terasa begitu pening. Pertengkaran sore tadi dengan Alma, istriku, masih terngiang-ngiang. Aku tahu kehidupan yang serba morat-marit membuat Alma sedikit frustrasi. Hidup di kota besar semacam Jakarta dengan kondisi keuangan serba kekurangan membuat kehidupan rumah tanggaku terguncang. Sebenarnya kami telah berjanji untuk melewatinya bersama-sama, separah apa pun. Namun, tetap saja tekanan berat kehidupan terkadang membuat semuanya bisa saja berubah.
Alma sedang hamil, bulan kesembilan. Tentu saja sedang butuh banyak biaya untuk melahirkan. Aku punya sedikit tabungan, dulu. Namun, sedikit demi sedikit terkuras untuk biaya hidup sehari-hari, sementara, dengan bodohnya, aku melepaskan pekerjaan yang sedikit-banyaknya menjadi tumpuan harapan satu-satunya.
Istriku marah bukan kepalang. Aku dikatain lelaki terbodoh di muka bumi. Aku tidak terima sama sekali. Terjadilah pertengkaran hebat. Sebenarnya aku tidak bodoh. Aku keluar dari pekerjaan lama yang gajinya hanya cukup buat makan, bukan tanpa alasan. Pikirku, sebelum resign, pekerjaan lain tengah menantiku. Lewat seorang teman aku dapat rekomendasi tempat kerja yang layak. Ia menjamin aku bakal langsung masuk kerja. Pada kenyataanya, temanku itu ternyata seorang pembohong yang ulung. Bertambahlah deritaku. Aku menyesal. Sangat.
“Maafkan aku, Alma.”
Aku tidak berani pulang. Malam ini. Yang kulakukan sejak pagi tadi adalah berkeliling Jakarta hanya untuk mencari sedikit peluang yang bisa kuambil. Ada banyak papan lowongan yang kubaca. Sayangnya, belum apa-apa sudah bisa dipastikan aku tidak lulus persyaratan: S1, S2, berpengalaman minimal dua tahun. Aku, di luar persyaratan tersebut.