Richard
Aku berdiri. Menatap nanar dua orang di hadapanku. Satu orang kukenal, satunya lagi masih terlampau asing. Namun, setidaknya, yang satu orang asing tersebut pernah dengan tidak sengaja berpapasan denganku di satu waktu. Dua orang itu, satu lelaki; papaku, satu lagi perempuan; calon ibu tiriku. Setelahnya aku mengetahui bahwa perempuan itu bernama Alissa, dua puluh lima tahun. Betapa brengseknya papaku, mau bercinta dengan perempuan yang sebaya denganku.
“Papa sudah memutuskan. Semoga kamu tidak keberatan.” Lembut saja ucapan papaku seolah kalimat yang meluncur deras dari bibirnya tidak memberikan efek apa-apa terhadapku.
Aku menatapnya berang. Ini tidak adil. Sangat tidak adil. Ketika mamaku terkapar tidak berdaya, papaku, dengan tidak merasa bersalah memperkenalkan perempuannya kepadaku. Betapa pedihnya hati ini tersayat. Atas nama mamaku, aku berhak untuk marah.
“Papa keterlaluan!” teriakku dalam suara yang lantang. Bara emosi baru saja menyala dalam tubuhku. “Bahkan Mama yang tidak berdaya tidak sedikit pun membuat Papa iba,” lanjutku. Seluruh badanku bergetar hebat menahan gelegak kemarahan yang sudah hampir mengubun-ubun.
“Untuk itu papa minta maaf. Papa mohon pengertianmu.” Papaku masih tenang dalam berucap. Di sampingnya, cecunguk bangsat itu mengelus pundak papaku mesra berusaha menenangkannya, sementara tatapan matanya berlabuh ke arah karpet motif harimau yang tergeletak di atas lantai. Sama sekali dirinya tidak berani menatapku.
“Sampai kapan pun aku tidak akan pernah setuju,” jawabku lantang.
Papaku terdiam sesaat, menatapku penuh harap. Aku sama sekali tidak terpengaruh. Rasa sakit yang menggunung membuat diriku tidak lagi menaruh hormat kepada papaku.
Mamaku terbaring sakit beberapa bulan lalu, terkena stroke. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh mamaku kecuali terbaring lemah di atas tempat tidur, hanya bisa menggerakkan kedua bola matanya, selebihnya seluruh fungsi pergerakan tubuhnya lumpuh.
Harusnya Papa bersetia mendampingi Mama dalam keadaan apa pun. Mulanya iya. Setelahnya, perempuan brengsek itu bergerak untuk menjauhkan Papa dari sisi mamaku. Itu berhasil. Ini keterlaluan. Betapa jahatnya perempuan itu.
Beberapa bulan Papa menjauh. Tugas merawat mamaku dibebankan kepada seorang perawat yang dibayar besar oleh papaku. Kehidupan mencapai titik nadir. Papa benar-benar menjauh dan melupakan bahwa istrinya masih hidup, termasuk melupakan aku, anaknya sendiri.
Rumah hanya menjadi persinggahan sementara papaku. Mulanya seminggu sekali papaku pulang, lantas sebulan sekali, seterusnya jarang hingga kabar itu terdengar olehku: Papa memiliki perempuan simpanan. Hatiku hancur berkeping-keping.