Malik, Zein, dan Miranti
Kubuka mataku. Hal pertama yang kulihat adalah mereka berdua sedang bercengkerama selayaknya sepasang kekasih. Padahal bukan. Kami bertiga adalah sahabat yang disatukan oleh sebuah dunia: musik. Ya, musik yang bertahun-tahun ini telah kami geluti bersama-sama.
Senang dan sedih telah kami lewati bersama-sama. Penolakan demi penolakan telah kami terima. Kami tetap berjuang untuk sebuah mimpi: album rekaman.
Malam ini kami baru pulang dari tampil regular di sebuah kafe yang mempekerjakan kami bertiga. Sangat melelahkan, tidak biasanya kami lembur.
Sebuah acara yang digelar pihak kafe menambah durasi penampilan kami ditambah. Tentu saja ada honor lemburan.
Jam setengah dua kami baru pulang. Sebuah basecamp kami datangi sebelum pulang ke rumah masing-masing. Basecamp ini serupa tempat kami berkumpul sambil berlatih.
Tidak besar, hanya terdiri dari sebuah ruang sederhana tempat peralatan band kami diletakkan, juga sebuah kamar kecil tempat kami beristirahat bila enggan pulang ke rumah. Kamar mandi dan toilet terpisah paling belakang.
“Kita berhenti,” ucapku tiba-tiba. Mereka yang sedang bercengkerama berhenti, melabuhkan pandangannya menelisik.
“Kita berhenti,” ulangku seolah menegaskan. Aku masih bersender di sofa yang tersedia di ruang peralatan.
“Maksudmu apa?” Zein membutuhkan jawaban segera.
“Aku lelah,” jawabku. Kupejamkan mata. Rasa sesak menjalari rongga dada.
“Maksudmu kita bubar?’ kali ini Miranti yang bertanya.