Okta
Alma mendesak. Ia menyuruhku kembali ke pekerjaan lama. Aku harus memohon kepada mantan atasanku agar diriku diterima kembali menjadi karyawannya.
Butuh keberanian dan juga urat malu untuk mendatangi pimpinan perusahaan tersebut. Aku tahu Pak Rendra, mantan atasanku, adalah sahabat karib almarhum bapakku.
Namun, apakah itu saja sudah cukup untuk mempengaruhi keputusan mantan atasanku itu? Aku tahu aku salah. Dan, bodoh.
Pagi sekali aku bergegas menuju halte. Aku tidak punya apa-apa lagi. Harta terakhir satu-satunya—motorku, sudah kujual untuk menambah biaya persalinan bila Alma melahirkan. Bus adalah pilihan paling bisa diandalkan: murah dan efisien. Itu menurutku.
Sebelum pergi aku menimang-nimang. Pada akhirnya keputusan untuk mendatangi kantor lamaku aku genggam erat. Biar malu. Biar mendapat ejekan atau apa pun itu, siap kuterima. Asal, aku bisa kembali bekerja.
Halte penuh sesak. Jakarta tidak pernah lengang. Mereka-mereka adalah para pekerja yang rutin berangkat menggunakan akomodasi bus sebagai tumpangan pavorit.
Aku berdiri, bersender pada tembok halte. Sepasang muda-mudi yang tampilannya sangat lusuh tampak tidak bersemangat berdiri, mereka tampak masih mengantuk, dan belum mandi. Aroma tubuhnya terasa asam di penciuman.
Aku bergeser, membuka sedikit ruang udara agar aroma mereka berdua tidak menyerbu masuk penciumanku dengan bebas.
Mereka menatapku ramah. Sebaliknya aku sedikit jutek. Senyum mengembang di bibir keduanya. Sang lelaki merengkuh pundak perempuannya seraya mendaratkan ciuman cepat di pipinya. Aku sama sekali tidak terperanjat. Hal seperti itu di Jakarta, sudah lazim.
Si perempuan sedikit malu. Ia melirik ke arahku lantas menunduk. Kali ini aku tersenyum seolah mengatakan sesuatu tanpa kata: tidak apa-apa. Bersenang-senanglah, Nak.
Bus pertama berhenti. Rombongan pertama masuk tergesa-gesa meninggalkan beberapa orang yang memilih untuk menunggu kedatangan bus berikutnya.
Mereka tipe orang-orang yang tidak mau memaksakan diri kecuali terpaksa. Aku, sepasang muda-mudi, dan beberapa orang di sana termasuk tipe tersebut.
Aku memilih untuk menunggu bus berikutnya. Toh, aku tidak sedang terburu-buru. Entah dengan sepasang muda-mudi itu. Namun, aku kira alasan mereka pun demikian: tidak sedang terburu-buru sepertiku.
Seorang lelaki muda muncul dengan kemeja kotak-kotak dominasi biru-merah dan jeans biru. Kuperkirakan usianya dua puluh sekianan. Dari tampilannya tampak ia berasal dari kalangan menengah ke atas.