Seno dan Audy
Hari mulai terang. Aku membuka mata seraya mengumpulkan ingatan akan apa yang terjadi tadi malam. Yang terlintas kali pertama adalah Seno, kekasihku, aku melirik ke samping.
Dalam posisi meringkuk di atas lantai halte, Seno masih tertidur lelap. Tadi malam aku tidur di halte bersama Seno. Itu yang terjadi.
Aku tersenyum. Cinta memang kadang tidak masuk akal. Tertidur di halte ternyata tidak membuat kami mati dibunuh oleh seorang penjahat.
Aku bangkit menggeliat, meregangkan otot-otot tubuhku yang terasa kaku. Beberapa orang sudah bermunculan di halte. Mereka memasang wajah-wajah tidak peduli akan keberadaan kami berdua.
Aku menyentuh pipi Seno yang dingin, sebab udara tadi malam. Aku membangunkannya pelan.
“Sudah pagi. Bangun. Tidak enak dilihat orang-orang. Kita bukan gembel,” ucapku seraya tertawa kecil.
Seno membuka mata dan tersenyum. “Kita di mana, Sayang?” candanya.
“Di bulan,” jawabku. “Dan lihat! Alien-alien mulai berdatangan dan menatap kita iba.”
Kami terkekeh lantas bangkit. Tidak ada pikiran bagi kami berdua untuk pergi mencari kamar mandi untuk membersihkan diri. Kami berdiri tepat ketika seorang lelaki berkemeja putih bawahan hitam melintas. Ia melirik sepintas tanpa senyum.
Kami berdua tersenyum ke arahnya. Tidak ada balasan. Biar saja.
Orang-orang mulai berdatangan. Lelaki berkemeja putih itu bergeser. Aku sadar, ia sedikit menjauh dari kami berdua.
Aroma tubuh aku dan Seno sangat tidak enak. Pada satu kesempatan, Seno merengkuh bahuku dan mendaratkan ciuman di pipi. Lelaki itu melihatnya lantas mencelos. Aku menoleh dan tersenyum ke arahnya lantas menunduk, malu.
“Kamu apa-apaan, sih. Malu,” bisikku.
Seno tidak menjawab kecuali tertawa.