Malik, Zein, dan Miranti
Aku berdiri, bersandar pada sebuah batang pohon akasia yang tumbuh di depan basecamp kami.
Masih terlampau pagi, juga dingin. Aku memandang bangunan itu dengan rasa bahagia yang tidak terperi.
Di sinilah segala sejarah bermusikku tercatat. Aku, Zein, Miranti. Tiga orang sahabat yang berjuang bersama-sama untuk sebuah harapan. Dan itu, pada akhirnya berhasil.
Hari ini kami berangkat. Ke Jakarta, tentu saja. Ada banyak hal yang ingin kulakukan setelah berada di Jakarta, pastinya berkaitan dengan dunia musik juga jadwal rekaman.
Banyak teman musisi yang sudah terlebih dahulu hijrah ke sana untuk ditemui.
Tentu saja kalau jadwal rekaman kami tidak berbenturan. Miranti lain lagi. Ia akan mendatangi teman-teman satu gang-nya sewaktu di Bandung yang kini nge-kost seputaran Jalan Sudirman.
Zein, tidak ingin melakukan apa-apa kecuali tidur sepanjang ada kesempatan.
Pajero Sport yang sudah kami carter sudah teronggok di depan basecamp. Tak banyak yang kami bawa selain peralatan band juga pakaian ganti.
Rencananya untuk beberapa hari. Namun, rencana bisa saja berubah tergantung kebutuhan.
Aku membayangkan bahwa kelak, album yang kami rekam terjual jutaan copies. Ini terlalu naïf, tetapi, bolehkan kalau aku berandai-andai?
Aku duduk di bangku sopir, sementara Zein dan Miranti duduk di belakang. Aku tidak butuh sopir carteran, toh, aku bisa mengemudi walaupun tidak punya mobil.
“Kalian siap?” tanyaku.
“Yo a. berangkat, Man. Welcome Jakarta,” balas mereka berdua.
“Cabut,” ucapku seraya menggerakkan tuas persneling.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Aku bukan tipe tukang kebut-kebutan di jalan. Zein terus memanas-manasiku agar aku melajukan mobilku dengan kecepatan penuh.
“Sialan! Kamu pingin mampus? Aku mah ogah,” ujarku setelah Zein meledekku dengan sebutan bekicot.