Seno dan Audy
Lelaki itu menatap kami lagi.
Entah penasaran atau apa, lelaki itu seolah sedang memperhatikan kami terus.
Mulanya merasa jengah juga, akan tetapi, apa peduli kami. Bagiku, dunia yang kini kupijak seluruhnya adalah milik kami berdua.
Ibarat kisah roman, kami adalah pemeran utama, sementara yang lain, termasuk lelaki itu, hanyalah tokoh figuran.
Aku melingkarkan tanganku ke pinggang Audy. Yang bersangkutan tampak menggeliat kegelian. Audy terdiam dalam posisi semula, dan membiarkan tanganku bertahan di sana cukup lama.
Audy sepertinya sedang memperhatikan lelaki klimis di depan sana yang sedang kebingungan mondar-mandir.
“Tampaknya lelaki itu sedang kebelet pipis,” candanya dengan tidak menengok ke arahku.
Aku terkekeh sebelum menimpali. “Bisa jadi kepingin boker.”
“Lelaki itu aneh sekali. Dari tadi terlihat gelisah,” tambah Audy.
“Entahlah, Dy. Aku juga heran.”
Lelaki tadi sekarang terdiam. Wajahnya yang pucat tampak memantulkan sebuah kecemasan. Ia menoleh dan menatap sekilas orang-orang di sekitarnya, lantas kembali menatap arah jalanan. Keramaian sedang bising-bisingnya.
“Dy, apa ibumu tidak akan histeris setelah melihat kamarmu kosong melompong?” Aku mengalihkan pembicaraan dari lelaki tadi ke arah permasalahan yang sedang kami hadapi.
“Masa bodo!” jawab Audy ketus. “Salah mereka sendiri kenapa bisa berbuat sesuka hati.”
“Maksud ibu-bapakmu mungkin baik. Lihat apa yang bisa kamu harapkan dariku?”
Aku memaksa Audy untuk membalikkan tubuh, lantas membiarkan sorot matanya memandangi seluruh bagian tubuhku.
“Mulai lagi. Aku tidak suka kamu ngomongnya seperti itu, Sen. Aku melakukannya karena cintaku … benar-benar untukmu.”