Richard
Aku tidak bermaksud meninggalkanmu, Ma.
Rasanya aku harus mengatakan kalimat itu. Sebelum pergi, Mama masih terlelap di atas tempat tidurnya.
Aku beranjak pergi dengan mengendap-endap. Halte ini seolah memberikanku banyak pelajaran perihal hidup.
Aku menatap orang-orang dengan berbagai karakter dan sikap, setidaknya bisa sedikit menurunkan tingkat kememetan dalam pikiranku.
Ketika aku menyaksikan sepasang kekasih itu, timbul rasa iri melihat kebersamaan itu.
Aku membayangkan bahwa sepasang kekasih itu adalah mama-papaku selagi masih muda.
Mereka saling bercengkerama dengan rasa cinta dan rasa saling memiliki. Betapa indahnya hidup papa dan mamaku kala itu.
Mereka hidup seirama dengan balutan kasih sayang tak terbatas hingga lahirlah aku. Seorang bayi mungil nan tampan yang diberi nama Richard Arisandi.
Arisandi adalah nama papaku. Seorang pengusaha property yang sangat sukses.
Aku hidup dengan bergelimang harta yang berlimpah. Aku anak tunggal, pewaris tahta satu-satunya keluarga Arisandi.
Ketika orang-orang menganalogikan anak seperti aku ini adalah pribadi yang royal dan manja serta hidup menggantungkan diri kepada orangtua, aku hanya bisa menggeleng. Tidak. Aku tidak seperti itu.
Aku terbiasa hidup mandiri, bersahaja, dan sederhana. Aku punya prinsip: yang kaya itu papaku, bukan aku.
Jadi, untuk apa aku sombong, sementara yang bekerja keras bukan aku, tapi papaku.