Alma
Alma membelai perutnya yang membukit beberapa kali dengan lembut. Seharian tadi, ia merasakan sesuatu yang aneh terjadi pada bayi di dalam kandungannya.
Hampir seharian tadi, bayi itu bergerak-gerak dengan intens. Sebenarnya itu adalah hal yang tidak perlu dikhawatirkan. Kata bidan, bayi bergerak di dalam kandungan menandakan bayi itu keadaannya sehat. Alma tahu itu. Namun hari ini, perasaan itu sedikit lain. Apakah ini ada kaitan dengan kepergian Okta, suaminya, ke kantor lamanya?
Alma sadar, tingkahnya itu sedikit berlebihan. Harusnya Alma tidak terlalu sering marah kepada suaminya itu. Entahlah apa ada hubungannya dengan kehamilan di kandungannya ataupun tidak. Kata orang-orang, perempuan yang sedang mengandung itu bawaannya sensitf, terkadang sering cepat marah bila ada hal-hal yang tidak berkenan dengan dirinya.
Alma bukannya tidak menyadari itu semua. Bukan. Lagi-lagi ia tidak mengetahui alasan mengapa ia melakukannya.
Sebenarnya keadaan rumah tangga mereka baik-baik saja, jauh sebelum Okta memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan lamanya. Mulanya Alma tidak terpengaruh hingga keuangan keluarga mereka mulai menipis.
Ketika Alma menanyakan alasan kenapa suaminya berhenti, dengan antusias suaminya itu menjawab, “Aku akan pindah kerjaan di sebuah perusahaan yang jauh lebih menjanjikan. Gajinya jauh lebih tinggi dari tempat kerja lama.”
Alma tidak berkomentar banyak perihal itu. Namun, seiring waktu, pekerjaan yang dimaksud oleh suaminya itu sama sekali tidak terbukti. Alma berusaha sabar dan mencoba membicarakan dengan suaminya baik-baik. Okta menyuruh istrinya itu bersabar. Sementara Okta, di dalam dirinya mulai merasakan jengah. Ia sudah lama menunggu tetapi yang ditunggu, kabarnya pun tidak ada.
Pekerjaan itu ditawarkan kepadanya oleh seorang kawan. Sahabat karib. Okta terlalu percaya dengan ucapannya, mungkin.