Malik, Zein, dan Miranti
Aku masuk ke area halte. Tak tampak tempat yang aku maksud. Wajah Miranti memerah, sepertinya ia mulai tidak kuat lagi menahan kantung kemihnya yang penuh.
Aku hampir kecewa ketika tidak menemukan bangunan toilet umum itu. Untungnya, di belakang lapak gorengan tadi, ada bangunan kecil dengan kotak kayu di depan pintunya.
Aku yakin itu pasti toilet umum. Benar saja, dengan tulisan cat hitam yang hampir luntur, bangunan kecil itu menyelamatkan Miranti dari nasib buruk, ngompol di celana.
Miranti masuk, aku menunggu di luar. Ledakan itu terjadi beberapa detik setelah Miranti masuk. Aku terkejut. Suara gemuruh beserta kilatan api muncul.
Udara panas bergerak cepat menghantam apa pun pada radius beberapa meter termasuk ke tempatku berdiri. Entah dorongan panas sebesar apa yang membuat tubuhku terpental lalu terlempar serta merta.