Subang, 20 agustus 2018
Pukul 06.10 alarm berdering cukup keras di ponsel Nanda. Langsung saja gadis itu menerobos keluar kamar dan mengenakan sepatu secepat kilat. Berangkat sekolah pun Nanda memiliki jadwal khusus. Berangkat jam enam lebih sepuluh dan harus sampai tepat waktu pukul enam lewat dua puluh. Harus. Atau kalau tidak ia tidak akan memiliki kesempatan melihat sang pujaan hatinya pagi ini.
Apalagi alasannya selain Reyhan.
Reyhan berangkat ke sekolah selalu naik metromini -orang Subang sering menyebutnya Elf. Dan metromini yang di naiki Reyhan pasti selalu metromini berwarna hitam dengan stiker gambar presiden pertama -Soekarno- di kaca belakangnya. Asap knalpotnya pun tidak jauh berbeda dari bis umum yang sering Nanda naiki ketika berangkat dan pulang sekolah. Mengepul-ngepul dengan suara menderu yang membuat orang yang tak biasa naik kendaraan umum pasti sering merasa mual ingin muntah.
Tapi anehnya, pagi ini Nanda tak melihat Reyhan turun dari sana. Metromini yang baru saja berhenti di depan gerbang sekolah itu.
Apa jangan-jangan hari ini Reyhan tidak sekolah?
Dengan kepala menunduk gadis itu masuk ke sekolah, berjalan menuju kelas paling pojok dan mendongak ketika berada di belokan karena jalan terhalang kelas. Dan saat itu juga ia langsung ternganga.
Reyhan.
Nanda melihat wajahnya itu muncul di balik tembok salah satu kelas, membuat degup jantungnya seolah berhenti mendadak. Ia terkejut bukan main waktu itu.
Bagaimana bisa?
Pasalnya ketika Nanda mengharapkan akan bertemu dan melihat wajahnya Reyhan, justru ia tidak bertemu. Tetapi ketika Nanda sama sekali tidak mengharapkan apapun, seolah-olah tuhan mentakdirkan mereka untuk bertemu.
Takdir memang se-rahasia itu, terjadi tanpa di rencanakan dan tanpa di ketahui sama sekali. Seperti hal-nya sebuah jodoh.
Setelah Nanda sampai di kelas. Buru-buru ia menyimpan tas di bangku miliknya. Dan segera bergegas keluar kelas lagi, namun sejurus kemudian bahunya di tabrak cukup keras dari arah depan. Nanda meringis ngilu. Rupanya Ria yang menabraknya saat itu.
Ria langsung terlihat menyesal, "Maaf, Nan. Enggak sengaja" nadanya terdengar memohon. "Habisnya kamu keluar mendadak gitu. Aku nggak lihat kamu tadi" tambahnya.
"Nggak apa-apa kok. Ini salah aku juga karena nggak hati-hati" Nanda terus saja mengelus lengan sebelahnya sambil meringis, "Emangnya kamu mau kemana?"
"Ke kantin. Beli sarapan"
Nanda berpikir sejenak, Kantin?
Barusan Reyhan juga ke kantin. Oke. Nanda mengerti. Ini kode dari semesta.
"Tunggu. Jangan pergi dulu! Aku ikut ya" ujarnya, sambil bergegas pakai sepatu.
Akhirnya mereka berdua pun pergi ke kantin. Cukup mengejutkan juga saat itu tebakan Nanda tepat sasaran. Reyhan sedang berdiri di sebuah warung bernomor delapan.
"Ya' aku mau beli gorengan"
“Pagi-pagi makan gorengan? Gak takut kena jerawatan?”
“Jerawat?” Nanda tidak tahu apa urusan jerawat di wajah dengan gorengan yang ia telan ke perut. Tetapi, ia langsung mengibaskan tangan, “Jangan khawatir. Abis makan gorengan aku suka langsung ke toilet. Jadi, gorengan cuma numpang lewat doang di perut aku”
Ria ketawa mendengar jawaban Nanda yang asal-asalan.
Sebenarnya, tadi sebelum berangkat Nanda sempat memakan dua gigit roti tawar. Tetapi, melihat Reyhan ada di salah satu penjual gorengan, mau tak mau Nanda harus pergi ke sana untuk mendekatinya.
Ingat! Ini bukan termasuk ke dalam modus. Nanda memang masih merasa lapar. Perutnya tidak akan cukup bila hanya di beri dua gigit roti tawar.
Dengan perasaan ragu Nanda mendekat ke sana. Mencoba bersikap biasa saja saat berdiri tepat di samping Reyhan. Pokoknya Nanda tidak boleh terlihat gugup. Setidaknya tahan sampai lima menit ke depan. Apalagi saat Nanda dengan sengaja mendekat, sehingga lengannya dan lengan Reyhan bersentuhan.
Ya Tuhan, semoga tidak dosa ya...
Ria juga berdiri disebelah Reyhan. Dengan begitu, Reyhan berada diantara dua gadis yang berstatus adik kelasnya sekarang. Jantung Nanda terus dag-dig-dug tidak karuan. Seperti malam takbiran. Sebelumnya, Nanda tidak pernah selemah ini ketika berdekatan dengan cowok. Mungkin ini juga hal yang wajar baginya. Sebab ini kali pertamanya ia bisa berjarak tipis dengan Reyhan. Sangat tipis sekali. Sampai ia tak menyadari Reyhan sudah menghilang entah kemana.
"Cepat banget" gumam Nanda.
"Apa Nan?"
"Hah? E-enggak kenapa-napa kok. Aku mau ke warung Mang Zen, kamu mau ikut gak Ya?"
"Ayo! Tapi aku mau ke warung Bundahara ya"
Sesampainya mereka di area warung Mang Zen. Mereka langsung di sambut oleh teriakan pria berusia 40 tahun sambil menaruh gorengan yang baru matang ke atas nampan.
"Gorengan hotdog hey gorengan hotdog"
Nanda sontak terkikik geli mendengarnya. Bakwan di sebut hotdog. Jauh sekali persamaannya.
"Pagi, Mang Zen..." sapa Nanda dengan senyuman ramah.
Nanda dan Mang Zen itu, memang sudah akrab sekali. Beliau bahkan sampai hafal namanya sejak ia masih kelas sepuluh. "Eh, anak TPM. Buruan nih beli, gorengan hotdog-nya mumpung masih panas"
Nanda terperangah mendengarnya. Bagaimana Mang Zen bisa tahu kalau gadis itu sedang mengagumi seseorang di kelas TPM ( Teknik Permesinan)?
Apa Mang Zen sebenarnya salah satu keluarga Roy Kiyoshi yang menyamar jadi penjual gorengan?
Nanda geleng-geleng kepala untuk menghilangkan pikiran ngaconya.
"Iya-iya. Tapi ini mah bala-bala Mang Zen bukan hotdog. Wah harus di laporin ke menteri perdagangan nih. Penipuan publik ini namanya haha..." komentar Nanda di akhiri dengan tergelak.