Seroja tepok jidat.
drh? Dokter hewan? Ini klinik hewan??
“Nggak, temen saya yang sesak napas. Dia nyusul saya di belakang.” Seroja menjelaskan sambil mengeluarkan hpnya. Ia buru-buru mengirim chat kepada Etika agar bisa sampai ke klinik ini. Mau klinik hewan kek, klinik bersalin kek, yang mana ajalah, yang penting ada tenaga medis yang bisa menangani.
Dokter Siska menoleh kepada asistennya, seorang cowok kurus bercelemek hijau dan mengenakan sarung tangan.
“Bim, kita masih punya oksigen kan?”
Asistennya mengangguk. “Saya keluarkan sekarang ya, Dok.”
Bibi paruh baya yang masih memeluk kucingnya erat-erat itu protes. “Kenapa ngga telpon ambulans aja, telpon aja. Mereka lagi ngapain itu, yang satu berdarah, satu lagi sesak napas, panggil polisi sekalian.” Ia bawel menunjuk-nunjuk.
Seroja baru mau menyela untuk membela dirinya, tetapi cowok di depannya lebih cepat angkat suara. “Jangan, Tante, kasihan. Mereka anak-anak dari kampus Ben juga.”
“Apa?! Mereka anak Jasved juga??” suara Bibi Ben meninggi.
Ben menengok ke arah Seroja. Tersenyum tipis. “Lihat, dia pakai jaket kampus Ben.”
Seroja kehilangan kata-kata. Rupanya jaket kampusnya yang menyelamatkannya. Padahal ini kan seragam demo. Hm, cowok sebaik dan selembut ini ternyata kuliah bareng di Jasved dengannya.
Seroja mengerling Ben. Anak mana nih cowok? Pasti udah taken, deh. Atau minimal punya fansclub gak jelas kaya Maha.
Pintu klinik membuka lagi, akhirnya Etika dan cewek DKV yang tadi mengeluh sesak napas datang. Sepertinya cewek itu sudah membaik karena ia tidak lagi mencengkeram dadanya, hanya wajahnya yang semakin pucat. Etika memapahnya sementara cewek itu memejamkan mata sambil bernapas cepat.
“Kayanya dia udah enakan setelah duduk istirahat tadi.” Etika menjelaskan.
Cewek itu mengangguk lemah. Ia menengadah, meneliti ruangan klinik itu dan mendadak suaranya gemetar.