Baru dua minggu lalu Ronal bersikeras menolak Seroja yang datang sebagai korlap karena Teknik tidak mau ikut aksi demo gabungan Sospol-Sastra-Filsafat. Ronal inilah gembong kegagalan Seroja mengikutsertakan fakultas eksakta kampus Jasved ikut demo bareng mereka. Ketika tersebar kabar Teknik menolak ikut demo gabungan fakultas humaniora, fakultas eksakta lain seperti Kedokteran, MIPA, juga langsung mundur teratur.
"Sehat, Ja?" tanya Ronal lagi, entah tulus atas basa-basi.
Seroja mengangguk, malah memperkenalkan sosok yang datang bersamanya. “Ronal, ini Etika.”
Ada cowok yang berdiri juga dan menghampiri Seroja dan Etika. Cowok tinggi kurus dengan rambut cepak, hidung tinggi, dan pipi berjerawat. Ketika bicara, Seroja bisa melihat kawat giginya.
“Halo, aku Zul, Pimred Persma Teknik.” Ia menjulurkan tangan. Pers Mahasiswa Teknik, Seroja mencatat dalam hati.
“Aku Seroja, ini Etika.” Seroja menerima uluran tangannya.
“Ronal nggak bilang kalau yang datang cewek-cewek.” Zul nyengir. “Kalau tahu gitu ketemuan di kantin aja biar sambil ngemil.”
Ronal melirik Zul. “Disini ajalah biar cepet kelar. Duduk, Ja.”
Cowok gempal itu menyeret dua buah kursi lipat untuk bergabung ke lingkaran mereka.
Seroja memeriksa wajah-wajah cowok yang duduk di lingkaran itu kemudian bertanya pelan, “Mana Birawa?”
“Bentar lagi dateng, Birawa ada urusan sebentar sama koordinator orientasi mahasiswa baru di Teknik Arsitektur.” Ronal menjelaskan.
“Jadi apa nih yang mau disampaikan Sospol ke kami?”
Straight to the point. Seroja memaki dalam hati. Mau ngomong apan nih.
Tapi pertama-tama Seroja merasa perlu mengoreksi. “Aku diminta Kristoper datang bukan atas nama Sospol, Ron. Aku mau ngobrol dari hati ke hati sama Teknik atas nama Aksi Gabungan Mahasiswa Sospol-Sastra-Filsafat.”
Ronal merendahkan duduknya, matanya yang sipit berkilat menatap Seroja. “Seru nih kalau istilahnya udah ngobrol dari hati ke hati.”
Seroja berusaha tersenyum. Ia mengeluarkan catatan dari dalam tasnya dan berusaha bicara setenang mungkin.
Seroja bicara soal asal usul kerusuhan aksi demo gabungan kemarin, tentang penyusup yang kemungkinan besar masuk dan menjadi dalang kericuhan, tentang pertemuan Kris dengan pihak Rektorat, dan tentang rencana fakultas Teknik long march ke Ibukota minggu depan.
“Jadi kalian maunya bagaimana ya?” tanya Ronal. Satu kaki diangkat menyilang. Gestur orang yang paham bahwa ia sedang di atas angin.
Seroja menarik nafas panjang sebelum memutuskan. “Ronal, kalau BEM Teknik setuju, kami harap kami bisa gabung sama kalian sama-sama long march ke ibukota minggu depan.”
Alis Ronal terangkat. “Kalian mau gabung long march bareng kami? Kukira kalian disuruh Rektorat menggagalkan rencana long march.”
“Yang kudengar juga begitu isunya.” Zul menimpali, yang diiyakan cowok lainnya.
Seroja sudah menduga isu ini. Pasti cerita soal negosiasi Kris dengan pihak Rektorat sudah menyebar kemana-mana. Logikanya semua orang di BEM Teknik akan menyimpulkan bahwa penanggungjawab aksi gabungan Sastra-Sospol-Filsafat akan berusaha menggagalkan aksi long march anak Teknik.
Tepat karena itulah Seroja merasa perlu memainkan strategi yang berbeda untuk menghadapi kecurigaan BEM Teknik. Seroja menarik napas panjang sebelum menjawab.
"Begini ... kita nggak akan memaksa kalian berhenti long march."
“Kata Kris pihak Rektorat cuma khawatir kalian akan mengalami hal yang sama dengan kami, demonya disusupi dan jadi ricuh. Mereka khawatir nggak bisa mengawasi keselamatan kalian kalau long march ke ibukota karena kalian kan akan gabung berbaur dengan massa universitas lain yang jauh lebih banyak,” tukas Seroja.