Maharaja.
“Lepas!”
“Dengerin dulu Ja, kamu jadi tontonan anak-anak,” bisik Maha. Ia menahan lengan Seroja di belakang pinggangnya dan merengkuh Seroja mundur.
Maha berbisik di telinga gadis itu. “Kamu mau orang-orang makin meragukan kepemimpinan Kris? Setelah aksi kemarin ricuh dan kita terpaksa berangkat long march menguntit Teknik atas permintaan Rektorat?”
Seroja bungkam. Lebih karena efek suara berat Maha di dekat telinganya yang membuat tengkuknya dingin.
“Aku dengar pembicaraanmu dan Ronal. Dia ada benarnya. Menwa juga mahasiswa bukan orang luar, kalaupun mereka disuruh Rektorat melakukan sesuatu jumlah mereka cuma segitu, dibanding kita, mereka bisa apa?”
Mata Seroja mulai panas. Sesuatu merayap naik dari dadanya ke pelupuk mata. Sulit menjelaskan perasaan ini. Orang-orang sekitar Seroja tidak bisa memahaminya. Semacam firasat bahwa segala sesuatunya tidak akan berjalan dengan baik.
Semacam firasat bahwa ada seseorang yang diselubungi tabir berusaha mengacaukan long march ini hanya karena dia bisa. Semacam firasat tentang…
Ben.
“Hei, kenapa diem aja?”
“Maha…lepas….” Suara Seroja sedikit bergetar. Maha kali ini menurut.
Seroja menyentak dirinya menjauh dari Maha. Gadis itu beranjak pergi tapi belum ada sepuluh langkah sudah ada Alwi yang berdiri menghadangnya, tangannya terlipat di dada. Jilbab mahasiswi teladan di Kriminologi itu berkibar pelan.
“Aku nggak setuju sama caramu negur Kris.”
“Maaf, Kak Alwi.” Seroja menangkupkan tangan, mohon ampun.
“Jangan begitu lagi,” tandas Alwi. Tapi ia melanjutkan dengan, “…daripada kamu teriak-teriak menyalahkan Kris lebih baik kamu cari tahu.”
Seroja menegakkan diri. “Cari tahu?”
“Tentang siapa yang membayari Menwa berangkat.” Suara Alwi merendah.
“Dua hari yang lalu BEM Teknik tiba-tiba memutuskan mengikutsertakan Menwa ke long march, bareng sama kita. Tapi kita memang minta ikut dan kita mau patungan setiap kepala untuk menyewa bis dan membeli konsumsi. Anak-anak Teknik yang dikoordinir BEM juga gitu. Anggaran Teknik mepet banget, aku udah cek. Sementara, Menwa? Mereka dapet uang darimana?”
“Nggak mungkin Rektorat membiarkan Menwa menyewa minibus dan beli konsumsi buat berangkat demo pakai anggaran UKM Menwa, Apa Menwa mau patungan dari kocek sendiri buat ikut demo yang nggak mereka dukung isunya? Nggak kan. Kesimpulannya mereka dibayari. Pertanyaannya, dibayari siapa?”
Seroja terhenyak. Ia sesaat lupa bernafas.
“Kamu tahu siapa yang mungkin melakukan ini?” tanya Alwi lagi.
Seroja tergeragap menggeleng.
“Kamu nggak tahu?”
“Nggak, Kak, belum…” jawab Seroja.
…atau tepatnya ia belum yakin.