Seorang anak lelaki berambut cokelat kemerahan mengayunkan kaki dan dunia berhempas melewatinya.
Tangan kanannya menggandeng sosok saudari kembarnya dengan erat. Gadis kecil itu terengah-engah di belakangnya, berusaha sekuat tenaga mengikuti irama langkah kaki sang kakak. Di dekapan tangan kiri sang kakak adalah dua bongkah roti. Harum dan masih hangat, namun lembab terkena peluh yang membasahi tubuhnya.
Di belakang mereka berdua, seorang pria paruh baya mengejar dengan marah. Pria itu mengenakan celemek dengan bekas tepung di beberapa bagiannya—celemek yang belum sempat dia lepas karena keburu menangkap basah dua curut kecil di depannya mengambil roti dagangannya tanpa membayar. Dia menggeram marah seiring dengan langkahnya mengejar sang pencuri kecil.
Sang bocah lelaki—Garry namanya—tidak mempedulikannya. Tidak ada cara lain, batinnya berkata.
Dicengkeramnya tangan sang adik seraya terus berlari. Mereka sudah melewati gereja dan air mancur kota. Sebentar lagi, mereka akan tiba di jembatan perbatasan antara Lembah Acraime dan pegunungan Ksalla. Apabila mereka berhasil melewati jembatan tersebut, maka akan banyak celah untuk bersembunyi di sana.
Mereka melewati pasar, meliuk-liuk menghindari kerumunan orang yang tengah berbelanja. Beberapa orang menggerutu marah karena diserempet, namun yang dapat Garry dengar hanyalah suara napas dan debar jantungnya sendiri. Sang pria pemilik kedai roti masih mengejarnya—kini diikuti beberapa orang lain yang sok ikut campur. Meskipun kaki Garry terasa kebas karena terus berlari, dia tidak bisa berhenti sekarang. Jika dia berhenti, dia dan adiknya tidak akan makan dan badan mereka akan babak belur. Kalau lebih sial lagi, mereka akan diserahkan pada Badan Keamanan Kota dan akan masuk penjara karena pencurian.