Ketika Alice membuka mata, semuanya buram. Sekejap, cahaya silau menyeruak ke dalam pandangannya. Satu-satunya hal yang dapat dia lihat dengan samar adalah bahwa beberapa sosok berdiri di samping tempat dia berbaring, dan dia menyipitkan mata sebagai upaya untuk memperjelas daya pandangnya.
Setelah beberapa detik, pandangannya menjadi jelas. Alice mendapati bahwa dia berada di kamarnya. Kamar dengan dinding berwarna krem dan perabotan-perabotan bernuansa cokelat favoritnya. Dia dapat melihat fotonya bersama Garry di ulang tahunnya yang keempat belas, dibingkai dan digantung di dinding di seberang tempat tidurnya. Alice juga mendapati bahwa tubuhnya ditutupi dengan selimut berwarna khaki miliknya.
Hal selanjutnya yang dia sadari adalah bahwa semua sosok di sekelilingnya adalah sosok yang dia kenal.
Garry berdiri di sebelah kanannya. Raut wajahnya menggambarkan kecemasan luar biasa. Rambut sewarna tembaganya yang tebal terlihat acak-acakan sementara kedua tangannya menggenggam tangan kanan Alice yang masih lemas. Ketika melihat kedua mata Alice perlahan membuka, ekspresi wajah Garry sekejap berubah menjadi penuh kelegaan.
“Alice!” pemuda itu berseru, lega dan cemas. “Kau tidak apa-apa? Ya Tuhan, aku pikir aku akan kehilanganmu sekali lagi. Ya Tuhan, terima kasih karena membawa Alice kembali....”
Alice tergugu melihatnya. Sejurus kemudian, dia teringat bahwa sebelum pingsan, dirinya tengah berdiri di atas kursi, berusaha meraih puncak pohon natal untuk memasang hiasan berbentuk bintang di sana. Hal terakhir yang dia ingat adalah pandangannya yang tiba-tiba terlempar ke arah atap saat tubuhnya terhempas ke belakang dan kepalanya membentur lantai.
Benar saja, nyeri terasa di bagian belakang kepalanya. Begitu pula bahu kanannya. Namun dia berusaha untuk tidak menampakkannya. Tidak selama Garry berada di sini. Alice tahu bahwa kakak kembarnya itu selalu khawatir dan protektif padanya. Garry jelas akan membuat keributan apabila Alice tidak baik-baik saja.
Dengan ragu, dia mengeratkan genggaman tangannya pada tangan kakaknya. Dia berharap dapat menenangkan Garry dengan gestur tersebut sembari tersenyum samar.
“Aku tidak apa-apa, Kak.”
Mendengarnya, Garry menelungkupkan kepala pada genggaman tangannya sambil menahan tangis. Mulutnya kembali berkomat-kamit mengucapkan pujian pada Tuhan karena saudari kembarnya baik-baik saja. Alice mengusap bahu kakaknya pelan, berusaha meyakinkan bahwa dia baik-baik saja, dan dapat dirasakannya bahwa napas kakaknya perlahan-lahan kembali teratur.
Lega segera menyelimuti Alice. Gadis itu tahu betul bahwa alasan Garry menjadi amat protektif terhadapnya disebabkan oleh kecelakaan yang Alice alami saat mereka masih kanak-kanak. Kata Garry, saat itu Alice terjatuh dari jembatan menuju sungai yang mengalir amat deras, dan tidak ditemukan keberadaannya hingga 4 bulan lamanya. Tapi Alice tidak ingat apapun. Ingatannya tentang segala hal yang terjadi sebelum kecelakaan tersebut hilang tanpa bekas. Luna, rekan Alice sekaligus orang yang merawatnya saat baru saja ditemukan, berkata bahwa hal tersebut disebabkan oleh trauma, karena kemungkinan kepala Alice terbentur beberapa bebatuan besar di sepanjang aliran sungai.
“Dia cuma jatuh dari kursi saat memasang dekorasi pohon natal, tahu! Tingkahmu seperti dia sekarat setelah jatuh dari jurang saja. Idiot.”
“Adora!”
Alice menoleh ke sebelah kirinya, sedikit terkejut karna tidak menyadari kehadiran seseorang di sana sebelumnya. Dia mendapati Ekain berdiri di sana, rambutnya yang cokelat terlihat keemasan dicium sinar matahari dari jendela kamar. Pemuda tersebut kurang lebih seusia dengan Garry. Di samping Ekain, berdiri seorang gadis kecil yang tengah melipat tangan di depan dada. Gadis kecil yang badannya hanya setinggi siku Ekain itu memalingkan wajah dari Alice, tapi Alice dapat melihat raut masam di wajah gadis itu dalam benaknya.
“Oh, kau di situ, Ekain,” Alice memanggil pemuda tersebut. Ekain tersenyum padanya, kemudian menatap bahu Alice dengan tatapan penuh tanya.
Alice dapat membaca raut wajah Ekain. “Bahuku tidak apa-apa. Hanya…, sedikit ngilu.”
“Perlukah aku memanggil Luna supaya memeriksanya? Kepala dan bahumu terbentur anak tangga saat kau jatuh tadi.” Garry berkata cepat.
“Tidak, tidak apa-apa.”
Gadis kecil di sebelah Ekain, Adora, menyahut. “Tuh, kan? Dia nggak papa!”
Garry mendongak karena seruan gadis itu. Tapi baru saja dia hendak menguraikan kata-kata emosi padanya, Ekain lebih dulu bicara.
“Adora, kamu tidak boleh begitu! Dia jatuh karena kamu menarik kursi yang dia naiki tadi. Untung dia tidak apa-apa. Bagaimana kalau misal dia terluka lebih parah?” tukasnya dengan intonasi tegas, namun penuh kasih sayang. Adora mendengus kesal sambil memutar bola mata. “Sekarang, kamu harus minta maaf pada Alice.”
Adora memalingkan muka dan Garry menghela napas.
“Adora!”
“Iya, iya! Maaf, deh. Dasar kakak bawel.”
Adora melangkah pergi sambil menghentakkan kakinya, meninggalkan kamar Alice dengan penuh emosi. Garry menggelengkan kepala dan Alice mengedikkan bahu tak acuh.
“Itu gara-gara kau terlalu memanjakannya,” kata Garry. Dia ingin mengucapkan lebih banyak omelan, tapi segera membatalkan niatnya mengingat Adora masihlah anak-anak. Sebagai gantinya, Garry melanjutkan, “Tapi syukurlah Alice tidak apa-apa.”
Ekain menarik kursi dari dekat jendela, meletakkannya di samping tempat tidur Alice, dan duduk di sana. “Alice, Garry, maafkan Adora. Dia memang sedang dalam fase di mana dia ingin perhatian lebih.”
Alice menyeringai. “Kami sudah biasa saling membenci, kok.”