Ketika banyak teman perempuannya memilih sepatu dengan hak tinggi pada hari pertama mereka bekerja, Hana Kamila yakin bahwa sepatu datar akan membuatnya sempurna di tempat baru ia bekerja. Ini bukan perusahaan. Jauh berbeda dari tempat dahulu ia bekerja. Hana masih ingat lemburnya yang tidak berbayar, rekan kerja yang menyindirnya karena belum juga memamerkan barang bermerek, para pria yang senang menikmati tontonan dewasa yang sama sekali tidak mendapat teguran dari atasan, lalu ada bos yang melakukan pelecehan verbal padanya. Sebenarnya masih ada alasan lain yang membuat Hana ingin keluar secepatnya dari tempat itu. Hana menghargai dirinya sendiri. Ibunya tidak sekali pun memanggilnya dengan nama hewan, jadi bagaimana bisa ia mengizinkan orang lain melakukannya, hanya karena orang itu membayarnya. Setelah mengadu pada Tuhan, Hana mantap untuk pindah kerja. Hanya saja, kali ini berbeda. Kemantapan hati itu membawanya pada sebuah sekolah.
Hana meluaskan pandangan. Memorinya tentang pekerjaan lama dan ujung koridor yang ia tuju silih berganti menjangkau pikiran. Beberapa hari sebelumnya, Hana sudah menemui pihak sekolah, di sebuah ruang dekat gerbang. Orang itu mengatakan bahwa Hana datang di saat yang tepat. Mereka sedang membutuhkan pengajar mapel ekonomi SMA, karena guru sebelumnya baru saja berhenti, dan tidak ada lagi yang bisa menggantikannya. Hana sudah sering mendengar SMP Pattimura, tapi tak sekali pun tahu ada SMA Pattimura. Hana masih ingat dialognya dengan pria berperawakan kecil yang mengenalkan diri sebagai Pak Burhan itu.
“Tapi, mohon maklum ya Bu, dengan keadaan sekolahnya dan gajinya nggak seberapa. Saya harap, SMA bisa memberi yang terbaik secepatnya.”
Hana memindahkan tas ke pangkuan yang sedari awal di bahunya.
“Tidak ada masalah, Pak.”
“Ibu yakin belum pernah mendengar sekolah ini?” tanya pria itu.
“Saya tahu ada SMP Pattimura. Tapi, maaf saya tidak tahu banyak tentang SMA-nya.” Bahkan, baru kali itu Hana mendengarnya.
“Dimaklumi Bu, karena SMA Pattimura ini lebih sedikit muridnya dibanding SMP, baru tiga tahun bergabung dengan yayasan, kelasnya pun masih sedikit.”
“Jangan kaget kalau lihat murid-muridnya ya, Bu.”
Hana tidak terlalu mencermati kalimat panjang itu. Dia berusia dua puluh lima tahun, sudah cukup tua menurut Ibunya, sehingga membiarkan saja sapaan ‘Bu’. Pun ia berada di institusi pendidikan. Panggilan ‘Bu’ dan ‘Pak’ adalah sapaan santun tanpa memprioritaskan usia.
“Nah, ini Bu Siswati Yumna. Silakan berkonsultasi dengannya tentang SMA.”
Waktu itu, Hana tidak menyadari kehadiran perempuan di belakangnya. Perempuan itu masuk terburu-buru, sembari melemparkan ujung jilbab ke bahu. Tangannya dipenuhi berkas-berkas. Hanya ada perkenalan singkat dan seulas senyum darinya untuk Hana. Setelah itu ia dan Pak Burhan sibuk membahas hal lain, sehingga Hana merasa perlu untuk mengundurkan diri. Ketika tubuh Hana sudah melewati pintu, suara perempuan itu memanggilnya.
“Bu, hari pertama bersedia langsung ngajar ya.”
[ ]
Seperti itu kedatangan pertamanya. Hari ini, Hana datang kembali ke sekolah. Walau bukan lulusan sarjana pendidikan, ia memiliki pengalaman mengajar di lembaga pendidikan. Seorang guru yang bertugas di gerbang hanya memintanya berjalan lurus untuk mencapai ujung lalu berbelok ke kiri. Koridor itu terasa panjang dan lama. Meski semua kelas tertutup, Hana bisa melihat betapa bersihnya ruangan itu lewat jendelanya yang terbuka. Ini adalah hari pertama kegiatan belajar mengajar setelah liburan panjang berlalu. Hanya ada sedikit anak berpakaian putih biru berlarian ke arah gerbang, selebihnya sudah pulang sejak tadi. Mereka pulang cepat di hari pertama, pikir Hana.
Akhirnya Hana mencapai ujung koridor untuk berbelok ke kiri. Hana baru menyadari bahwa koridor panjang tadi adalah bangunan SMP. Artinya, ia belum mencapai bangunan SMA. Hana melangkahi sesuatu yang awalnya ia pikir itu parit yang akan dibangun. Kemudian ia menduga, mungkin saja itu dinding yang belum dibangun. Mungkin sekat yang gagal. Pijakannya tidak lagi berupa keramik, melainkan tanah kemerahan dengan rerumputan. Selagi terus berjalan, ia melihat taman kecil tertutupi pagar kayu tak beraturan berhias sulur tanaman liar. Di dalamnya ada dua remaja laki-laki berpakaian SMA asyik mengobrol. Mereka tidak melihat Hana. Taman itu jelas kurang mendapat perhatian dibanding ruang hiaju di sepanjang koridor yang sudah ia lewati. Hana mengabaikan pikirannya tentang taman, dan mulai yakin bahwa bangunan yang ia tuju adalah bangunan SMA, berkat dua anak laki-laki tadi. Keinginannya untuk segera mencapai ruang guru dan kepala sekolah tak terbendung. Setelah mengikuti jalur dan dua kali belok, Hana baru menemukan koridor kembali, yang tidak sepanjang sebelumnya. Lantainya dari tegel abu-abu, mengingatkan Hana dengan sekolahnya di masa lalu. Kali ini terlihat lebih banyak anak muda berseragam putih abu-abu. Hana mengangguk ketika sedikit dari mereka menunduk atau memberi jalan.
Seorang perempuan yang pernah Hana jumpai tersenyum ketika melihat Hana berjalan menuju ruangannya.
“Ah, Selamat siang, Bu Hana. Akhirnya datang juga.” Sapa perempuan yang tak lain adalah Bu Siswati.
Perempuan yang memakai tunik salem itu mengarahkan Hana menuju ruang guru dan kepala sekolah. Beberapa guru lain yang ikut melirik Hana, tersenyum padanya, meski asyik berdiskusi. Bu Siswati meminta maaf, bahwa dalam perkenalan pertama dengan Hana tidak banyak bercerita. Bu Siswati adalah Kepala TU dan Administrasi SMA Pattimura. Beliau menjelaskan bahwa hanya ada 4 kelas : Kelas XA, X-B, XI, dan XII IPS. Kepala Sekolah sedang keluar kota untuk sementara waktu, wakilnya meninggal dunia tiga bulan lalu, dan belum memiliki pengganti. Bu Siswati menyebutkan dua orang kandidat pengganti yakni Ibu Tri dan Pak Irham, senior yang belum Hana kenal.
“Untuk sementara sekolahnya siang, semoga tidak keberatan. Ibu punya jadwal mengajar di sekolah lain?” tanyanya dengan sangat akrab.
Hana menceritakan dirinya telah memiliki jadwal ajar di sebuah kursus sore dan malam, sehingga tidak akan menganggu KBM di SMA Pattimura. Bu Siswati kemudian mengenalkan Hana pada guru-guru yang ada di ruangan itu. Ada Bu Juni, guru sejarah sekaligus wali kelas XII-IPS yang berbadan tinggi, berkacamata. Bu Tri, wali kelas XI, seorang guru PKN berwajah tirus, bersuara berat, tetapi paling riang menyapa Hana dengan, “Halo, selamat datang di SMA Pattimura.”
Pak Hamdan, lelaki tua yang duduk terperosok dengan kacamata melorot, yang disebut sebagai guru Bahasa Indonesia, sekaligus wali kelas X-A. Pak Rusli, guru olahraga, terlihat dari pakaiannya. Pak Sanusi, guru fisika, sepertinya guru lelaki paling muda di ruangan itu. Bu Fatimah, guru matematika sekaligus wali kelas X-B. Bu Lintang, guru sosiologi, yang terlihat sedang hamil. Ada pula Siska, guru biologi yang menurut Hana seumuran dengannya.
Netra Hana menyisir ruangan. Ada ruangan di dalam ruangan besar itu. Dua buah ruangan dengan tirai. Hana menduga itu adalah ruang komputer. Untuk para guru? Sepertinya bukan, terlalu banyak komputer di sana. Satu ruangan bertirai lagi belum diketahui Hana. Sebuah ruangan terbuka, dengan satu kursi dan meja yang pada atasnya terdapat papan nama bertuliskan Ghozali Abdul Hakim, Kepala Sekolah. Ditulis berukir tanpa gelar satu pun. Satu ruang paling pojok sudah pasti toilet.
“Pak Burhan itu— ?” tanya Hana tanpa memperjelas pertanyaannya.
“Siapa? Oh, dia bukan guru di sini,” jawab Bu Siswati cepat.
“Kenalannya Pak Burhan?” tanya Pak Hamdan.
“Bukan, Pak,” ucap Hana sembari menggeleng. Obrolan itu tuntas begitu saja, ketika seorang pria kurus ceking masuk dengan cepat.
“Masuk kelas, Bapak-Ibu,” tegasnya. Tak lama bel pun berdering.
“Itu Bang Kasim, orang paling galak di sini,” ujar Bu Juni mendorongkan bibir ke arah pria kurus yang disambut tawa. Beberapa guru tampak keluar ruangan, menyisakan sedikit orang.
“Kami sudah membuat jadwal pelajaran, mohon dicek ya Bu.” Hana menengok lembaran yang diserahkan Bu Siswati dengan cepat. Namanya dalam bentuk kode terjadwal di semua kelas. Bahkan hari ini, setelah istirahat ia terjadwal mengajar di kelas XII IPS.
“Bu Hana umur berapa ya?” Pertanyaan Bu Tri menggeser pikiran Hana.
“Saya? Dua puluh lima, insya Allah tahun ini, Bu,” jawab Hana ringan.
“Oala, malah kayak masih murid. Saya panggil Mbak aja ya,” pinta Bu Tri.
Hana menerima dengan senyuman. Tubuhnya memang mungil, beberapa kali orang salah menebak usianya. Namun, Hana tidak merasa semuda itu.