Aku tidak perlu gedung mewah.
Tidak apa duduk di kursi tua
Dindingnya mengelupas pun silakan.
Mungkin aromanya kecut dan direndahkan
Tapi, sekolah inilah yang bisa menerimaku apa adanya.
Aku yang kata orang sampah.
(tanpa nama)
Sekolah ini memang nggak sebagus sekolahku dulu.
Tapi, guru-gurunya baik.
Jadi, terima kasih.
Oya, aku nggak punya impian apa-apa.
(tanpa nama)
Ngomongin impian dan cita-cita itu seperti anak kecil.
Sekarang asal bisa hidup saja sudah syukur.
(tanpa nama)
Hana merapikan kertas-kertas yang ia terima dari semua kelas dalam sebuah map palstik, yang di depannya ia beri judul “Impian Mereka”. Map itu bertuliskan ‘SMA Pattimura – 2008’. Dia juga merapikan buku dan catatan yang berserakan ke rak serba guna di kamarnya. Kemudian Hana mengambil album foto karena teringat sesuatu.
“Di mana aku pernah melihatnya?” tanya Hana pada udara kamar.
“Keluarga bukan sih? Kenalan keluarga? Aku yakin pernah ketemu anak itu deh. Tapi di mana?” bisik Hana lagi. Ada satu wajah yang mengganggu Hana sejak ia memasuki kelas XII-IPS. Dia yakin sekali pernah melihatnya, pernah menjumpainya. Seperti pernah mengenalnya bertahun-tahun. Wajah itu terlalu familier baginya.
Hana keluar kamar untuk mencari Ibuknya. Rupanya di dapur Ibuk sedang mengupas banyak bawang.
“Ibuk mau bikin apa ?” tanya Hana, segera mengambil pisau untuk ikut mengupas.
“Buat stok aja, yang ini bikin bumbu soto untuk Nenek. Ntar kamu yang antar ya.” Ibuk menyisihkan sebagian besar bawang.
“Nenek ada katering, kan? Kok bikin soto?” tanya Hana.
“Paman Amat yang pengen. Ibuk bantu bikin bumbu, biar gampang,” jelasnya.
Hana mengangguk paham.
“Buk, kapan arisan keluarga ? Hana mau ikut,” tanya Hana lagi.
“Tumben. Biasanya diajak nggak pernah mau.” Ibuk mendelik Hana.
“Bukan mau ikut arisan. Cuma mau ikut kumpul-kumpul aja,” jelas Hana.
“Ngerti. Dari dulu Ibuk juga ngajak kamu kumpul-kumpul keluarga. Kamu pasti nggak tahu anaknya Om Iman kan? Sudah pemuda dia. Kalau Acil Galuh ingat nggak? Umurnya sudah empat puluh-an, anaknya ntar lagi mau menikah. Tuh, masih muda mamanya, sudah bisa bemenantu.” Ibuk menuturkan seakan dalam satu hentakan napas saja.
Hana tahu ia punya kekurangan karena tidak mampu mengenal keluarga sesuai yang Ibuk harapkan. Tapi, ia berharap Ibuk paham bahwa keluarga yang disebutkan itu adalah keluarga besar – yang sangat besar. Bisa sepupu dua kali atau tiga dari Ibuk. Seperti Acil1 Galuh, yang memiliki Nenek bersepupu dengan Nenek ibunya. Pun karena orang dahulu punya banyak anak dan istri, maka perkumpulan keluarga ini menjadi besar sekali. Kalau hanya saudara Ibuk dan saudara Ayah, beserta anak-anak mereka, Hana kenal baik. Namun, bukan itu yang menganggu Hana sebenarnya. Selain waktu berkumpul yang tidak sesuai dengan jadwalnya, atau memang dulu Hana tinggal di luar kota, melainkan Ibuk yang selalu bercita-cita agar Hana segera menikahlah yang lumayan membuatnya terganggu. Obrolan perjodohan, membandingkan usia menikah seseorang, sindiran tentang usianya sendiri, sering dibahas tidak tepat waktu.
Kayaknya ada murid yang Hana pernah lihat. Mungkin keluarga,” ungkap Hana.
“Siapa namanya? Anaknya Julak2 Ical kah? Anaknya SMA juga. Nanti Ibuk tanyakan.”
Siapa pula Julak Ical ini, dalam hati Hana berkata.
“Itu dia. Hana belum hapal nama-nama murid di sana,” jelas Hana buntu. Salahnya juga nekat bertanya, tapi belum jelas benar. Mana bisa ia mengingat semua nama murid hanya dalam dua hari. Namun, ia berjanji, separuh nama-nama murid di sekolah itu akan ia ingat dalam sepekan.
[ ]
“Kapan sih Pak Bos datang?”
Suara Bu Tri memecah ketenangan di ruang guru.
“Aroma kelas dua belas tu bikin emosi! Jam pelajaran tadi habis kupakai buat ngomel. Anak-anaknya Bu Juni ini bikin sakit kepala!”
Siska benar-benar memperlihatkan kemarahannya. Tangannya dilipat ke dada.
“Lah, Mbak Siska ngapain di kelas dua belas IPS?” tanya Bu Tri, mengingat Siska mengajar biologi.
“Gantikan Bu Marni. Dia ada seminar di sekolahnya,” balas Siska.
Bu Marni adalah guru bahasa Inggris. Di sekolah ini, semua guru mengajar bercabang. Satu guru mengajar –minimal– di dua lembaga pendidikan. Semua demi menambah penghasilan, yang tidak akan seberapa jika hanya berharap dari satu tempat. Kesulitan akan terjadi ketika para guru menentukan jadwal, yang bisa saja bertabrakan dengan kegiatan di tempat lain.
Tiba-tiba Siska menggulung kertas menjadi bulatan, lalu melempar sekuat tenaga ke jendela di atas kepala Hana.
“Norak banget. Nggak bisa lihat barang bagus!” ungkap Siska bertambah kesal.
Hana memang tidak bisa melihat sesuatu di jendela dari tempat duduknya, kecuali jika ia berdiri dan sengaja untuk menengok. Tapi, ia yakin ada wajah anak-anak menempel di situ.
“Sabar Mbak Siska. Sabar.” Bu Tri menepuk pundak Siska. Sejenak Bu Tri tertawa kecil. Saat itu, Bu Tri terlihat bak sosok ibu yang menenangkan anaknya.
“Jangan sarik-sarik3 Mbak ay. Kaina lakas tuha nang kayak Bapak ini nah4.” Pak Hamdan ikut menimpali.
“Kesabaranku tipis, Bu. Kalau di sini terus, sudah pasti cepat tua saya, Pak,” sahut Siska.
Mendadak terdengar keributan dari depan kelas XII-IPS. Para guru segera menghambur keluar untuk melihat situasi. Sepertinya ada anak beradu mulut hingga ingin beradu fisik. Hana ikut keluar, meski gagal memahami situasi awal. Seorang anak laki-laki berdiri tepat di samping Hana, ikut mengamati perseteruan yang terjadi.
“Temanmu kenapa?” tanya Hana pada murid itu dengan tetap memandang ke arah kerumunan.
Anak laki-laki itu mendelik tajam ke Hana. Menatap gurunya dari atas ke bawah, lanjut dari atas ke bawah lagi. Dia mendengus lalu berpaling pergi.
Hana memang tidak menatap langsung murid itu, tapi dari ekor matanya, ia yakin si murid kesal ditanyai. Hana ikut membuang napas. Bersabarlah wahai aku, dalam hati ia berkata. Dipandanginya pemuda berseragam putih abu-abu itu, sosok yang wajahnya sangat familier bagi Hana.
Segera, ia masuk ruang guru kembali.