“Ini lengkapkah sudah bumbunya? Bekapulagalah? Bekembang lawang, gaganti, adas manis?”“Ibuk cuma bilang lengkap, Nek. Ndak bilang detailnya,” ucap Hana menyerahkan bungkusan pada Neneknya.
“Ay, kada nyaman amun kada lengkap. Coba pang takuni Mamak ikam.”7
Hana menyerahkan ponselnya setelah suara Ibuk keluar dari sana. Nenek duduk tenang di dalam rumah menanyakan perihal bumbu soto Banjar. Sementara Hana bersandar di bangku rotan panjang di teras rumah. Seorang lelaki paruh baya menatap Hana dengan terkekeh.
“Paman ganteng banget pagi ini. Harum lagi,” sanjung Hana.
Lelaki yang disapa paman itu memutar kepalanya. Ada raut bangga setelah disebut ‘ganteng’. Dia menyorongkan kepala agar Hana mengendusnya.
“Iya, wangi,” kata Hana senang.
Lelaki itu terkekeh lagi, kemudian bicara serampangan. Siapa pun yang melihat wajah dan gelagatnya, akan dapat menebak gangguan kejiwaan yang dialaminya. Nenek memiliki tiga anak lelaki. Anak pertama tinggal di luar kota, anak kedua adalah ayah Hana, dan anak ketiga adalah Paman Amat. Pagi-pagi, pamannya sudah mandi, menunggu sarapan datang, membawa sarapan itu untuk Nenek, menunggu Nenek selesai makan, baru Paman akan makan. Begitu pun jika mendapat makanan apa pun. Paman akan menanti Nenek makan dahulu, sampai Nenek menyuruhnya ikut makan. Paman akan selalu menuruti perintah Nenek. Ibuk sering sekali membanggakan paman dalam hal ketaatan pada orang tua.
“Pamanmu itu biar ‘gitu-gitu’ pasti mendahulukan ibunya,” ujar Ibuk dalam ingatan Hana. Kalimat yang Ibuk pakai bila ia dan adiknya mengabaikan permintaan orang tua.
Rumah Nenek merupakan bangunan tua dengan sentuhan khas era Belanda. Sehari-hari mereka hanya berdua di rumah itu. Nenek berjalan tertatih menuju teras setelah menuntaskan obrolan dengan Ibuk di telepon. Wajahnya menunjukkan rasa puas.
“Hana kada begawi kah?”8 tanya Nenek.
“Ini Minggu, Nek,” balas Hana.
“Nah, iya ya. Nenek lupa. Kayak apa kerjaanmu? Nyaman aja kah?” tanya Nenek lagi.
“Alhamdulillah. Nyaman aja,” kata Hana.
“Pokoknya sabar-sabar aja. Abahmu dulu kerja dari bawah juga,” kata Nenek.
Hana membantu Nenek berjalan ke bangku rotan.
“Lama sudah Abahmu ndak ada, ya. Kalau ada dia, pasti tiap hari ke sini. Jenguk Nenek, ngajak pamanmu ngobrol, jalan-jalan. Coba lihat pamanmu sekarang. Di rumah aja terus.”
Hana menengok Paman Amat. Pria yang sudah beruban itu sedang memamerkan giginya ke langit biru. Bermenit-menit. Hana menjadi tidak nyaman karena tidak mampu mengunjungi Nenek sesering mungkin. Adik Hana, satu-satunya cucu laki-laki yang tinggal satu kota, belum bisa sedemikian mudahnya untuk pergi ke rumah Nenek sendirian.
Ketika akan pamit, Paman Amat menepuk kencang tas Hana berulang-ulang. Hana tertawa masam. Dia tahu pamannya akan melakukan itu. Setelah Hana salim tangan pada Sang Nenek, akhirnya Paman Amat tertawa sambil bertepuk tangan.
“Bagus, bagus, bagus, bagus, bagus,” katanya.
[ ]
“Iya, Sherli, Anita, Gina.” Sepanjang koridor SMA, Hana menyapa anak-anak. Dia sudah berjanji akan mengingat nama-nama mereka. Anehnya, kelas yang sering bermasalah justru paling mudah diingat, seperti kelas XII dan XI, sementara nama-nama murid di kedua kelas X, sempat terbata-bata di memori Hana. Murid perempuan lebih cepat Hana ingat, karena jumlahnya yang sedikit. Mereka juga lebih ramah, lebih penurut. Hal unik yang Hana temukan di sekolah itu, adalah para murid perempuan hanya akan berkelompok berdasarkan kelas mereka. Sementara murid laki-laki mengabaikan unsur kelas dan usia. Tidak ada senioritas antara mereka. Kalau mau kumpul, ya kumpul saja.
“Apa kabar Jamal, Bandi, Mulanggar?” sapa Hana
Para murid laki-laki itu menjadi berisik karena tidak menyangka Hana tahu nama mereka.
“Fendi, Guntur, Junaedi, permisi ya.”
Kadang anak-anak berkumpul tak kira-kira, di tengah koridor pun mereka menggelar obrolan.
“Ih, dia tahu namaku.”
“Pasti diingat namamu, kamu berandalan.”
“Kayak kamu nggak!”
Hana mendengarkan sembari melanjutkan langkah. Matanya menyisir keadaan. Beberapa anak laki-laki memakai anting dan hanya sedikit yang segera melepasnya ketika Hana lewat. Sementara sebagian menatap Hana seakan menantang, selayaknya yang lewat barusan bukanlah seorang guru, melainkan anak gadis tetangga. Mereka juga lebih berani membincangkan Hana di dekatnya, dengan mengganti Hana sebagai ‘dia’. Bagaimana pun, setiap kelas punya atmosfer dan tantangan yang berbeda.
Siang itu, tidak banyak guru yang duduk di ruang guru. Sepertinya masing-masing sudah memiliki kesibukan di tempat lain, sehingga datang hanya sesuai jadwal semata. Hana memiliki jadwal ajar masih beberapa jam lagi. Dia senang bisa datang lebih awal, untuk mempersiapkan materi atau membaca situasi kelas. Alasan lain, karena harus bergantian kendaraan dengan Ibuk. Bang Kasim yang melihat Hana tidak memasuki kelas, tiba-tiba meminta bantuan untuk membersihkan aula. Hana baru tahu kalau SMA punya aula. Namun, rupanya itu adalah kelas kosong yang dipenuhi kursi sara bara, tumpukan poster dan prakarya rusak, serta sudah pasti debu. Pak Irham sudah berada di ruangan itu untuk memindahkan kursi.
“Bu Hana? Alhamdulillah, ada yang bisa bantu. Begini, Pak Ghozali dan saya berencana membuat ruangan ini menjadi aula, Bu. Insya Allah kita bisa pakai saat Ramadhan tiba. Tadinya saya pikir ruangan ini cuma debu saja masalahnya. Ternyata—”
Pak Irham tidak melanjutkan pernyataannya, karena Hana sudah bisa melihat kekacauan dalam ruangan itu. Bang Kasim mengusulkan agar beberapa murid lelaki diperbantukan jika ingin lekas selesai, mengingat Pak Irham dan Hana memiliki jadwal ajar nantinya.