Hana, Sekolah Terakhir

lidhamaul
Chapter #5

RAZIA

Bu Tri dan Bu Juni berdehem ketika Hana memasuki ruang guru. Mereka duduk di dekat pintu untuk bertugas piket. Hana berpikir cuaca dingin mungkin sedang memengaruhi kedua guru tersebut, sampai dia melihat sendiri keduanya sedang tersenyum penuh arti.

“Ibu-ibu sehat?” tanya Hana.

“Sehat banget!” sahut mereka kompak.

“Kalau cuaca dingin gini, mungkin butuh minuman hangat biar tenggorokan enak,” saran Hana.

“Nggak apa-apa. Tadi sudah ada pemandangan yang menghangatkan,” balas Bu Juni tertawa.

Ini konyol. Hana tahu mengarah ke mana. Dia tidak ingin melanjutkan basa-basinya lagi. Hana melihat Bu Fatimah datang membawa bungkusan besar.

“Ibu-ibu, hari ini kita makan sop singkong ya,” katanya setelah menyapa semua guru.

Bu Fatimah memakai pakaian merah dengan garis-garis berkilat pada atasannya, dengan kerudung yang juga merah. Tak ada noda hitam pada sepatunya atau sekadar basah. Lebih dari dua perhiasan tersemat di jemari. Secara keseluruhan, dia tampil ‘wah’ tanpa kesan cela.

“Bu Juni, di belakang tadi ada anaknya yang kayaknya butuh pencerahan sesudah mendung hari ini.”

Menurut Hana, perempuan yang berusia kisaran lima puluhan itu selain gaya pakaiannya yang selalu tampil beda, cara berbicaranya pun unik. Seakan beliau melafalkan kata per kata untuk memperjelas artikulasi.

Anak yang dimaksud adalah Dika dan Januar. Mereka terkejut ketika tahu Bu Juni sudah menunggunya di tikungan sebelum sampai depan kelas. Keduanya memakai anting-anting berwarna hitam, berpakaian asal dan Dika hanya memakai sandal, tidak pula membawa tas. Aroma mereka menyiratkan keduanya baru saja merokok. Entah apa yang dipikirkan anak-anak itu, sehingga berani berpenampilan seperti itu ke sekolah.

Cah ganteng, ayo duduk sini dulu depan Ibu,” kata Bu Juni mengawali.

“Kok bisa ke sekolah seperti nggak ada niat begini?” tanyanya.

“Kalau sudah sampai sekolah berarti sudah ada niat, Bu,” balas Januar.

“Bagus. Niat ke sekolah ada. Terus tujuannya apa?”

“Absen,” jawab Januar datar.

“Nggak ada niat belajar?” Bu Juni menahan intonasi suaranya.

“Ada, Bu.”

“Belajar apa hari ini?” tanya Bu Juni lagi.

Januar menengok Dika, meminta bantuan. Rupanya manusia yang ditengok sama bingungnya.

“Anting-antingnya dilepas dulu,” pinta Bu Juni dengan suara yang lebih keras.

“Tapi, nanti dikembalikan ya, Bu,” pinta Dika.

 “Tapi, pakai anting kan nggak ganggu pelajaran, Bu,” tambah Januar.

Januar dan Dika melepas anting dengan wajah terpaksa.

Wawancara pun berganti ke Dika.

“Kalau Dika, kenapa pakai sandal?” tanya Bu Tri.

“Banjir, Bu,” jawab Dika.

“Di mana banjir?” tanya Bu Tri.

“Di Gunung Kawi11,” jawab Dika meyakinkan.

“Barusan Ibu keliling Gunung Kawi nggak ada banjir. Kalau pagi tadi, iya,” jelas Bu Tri.

“Nah iya, Bu. Memang tadi pagi,” sahut Dika.

“Tapi, kamu kan masuknya siang. Lagipula rumahmu di mana, Dik?” tanya Bu Tri menunjuk muridnya.

“Di dekat sini, Bu.”

“Banjir di sana tadi pagi, rumahmu di sini12. Kamu sekolah siang. Ini Ibu memahamimu bagaimana?”

“Begini Bu. Ceritanya, tadi pagi aku diminta Mamak ngantar pakaian ke pelanggan di Gunung Kawi. Mamakku tukang cuci. Namanya anak kan, biar hujan kuturuti aja. Sudah kuantar, kutunggu hujan, ternyata siang baru reda. Ya sudah, begitu siang aku langsung ke sekolah,” jelas Dika yang sebenarnya tidak jelas.

 “Dika, maafin Ibu ya. Buat Ibu nggak masuk akal. Bukannya kamu bisa pulang dulu, siapkan dulu diri kamu ke sekolah. Katamu rumah dekat sini?” tanya Bu Tri bingung.

“Tapi, aku belum bilang tadi, rumahku dikunci, Bu,” jawab Dika.

“Lah, terus kok bisa kamu pakai seragam tapi nggak pakai sepatu, nggak bawa tas, hah?!” Bu Tri tidak kuasa menahan gemasnya.

“Karena bajuku di luar, di jemuran, ya kupakailah. Tas sama sepatu di dalam rumah. Mamakku ditelepon nggak bisa,” terang Dika.

“Bapakmu atau saudara emang nggak ada?”

Lihat selengkapnya