Hana menutup Al Quran tepat ketika seorang perempuan tua mengucapkan terima kasih atas mukena yang dipinjamkan.
“Mau ada pengajian ya?” tanya perempuan itu
“Di sini? Saya nggak tahu, Bu,” jawab Hana.
“Oh, saya kira orang sini. Adek lagi kuliah malam?” tanya perempuan itu kembali berbasa-basi.
“Nggak kuliah, Bu. Saya ngajar,” balas Hana ramah.
“Oh, guru. Ngajar di SD mana ?”
“Bukan SD, saya ngajar di—”
“Oh, guru TK. Cocok aja.” Perempuan itu mengangguk dengan yakin.
“Saya ngajar di SMA. Sebentar lagi mau ke bimbel dekat sini.” Hana menaikkan tasnya ke punggung.
“Ooh. Saya kira— ya ya ya. Silakan. Hati-hati Mbak.”
Hana meninggalkan senyuman pada perempuan paruh baya itu. Sudah beberapa kali dia menemukan seseorang mengawali sapaan untuknya dengan ‘adek’ kemudian berubah menjadi ‘mbak’.
Langit malam menunjukkan gemerlapnya. Seorang perempuan muda mengagetkan dirinya yang berjalan terburu-buru.
“Hana? Hana Mila ya?” tanya perempuan itu dengan senang.
“Ya….” Hana merasa tahu wajah itu, namun gagal menyebutkan namanya.
“Ningrum. Temannya Sulastri, yang satu kost denganmu,” balasnya dengan ceria.
“Ya Allah! Mbak Ningrum. Kok bisa ketemu di sini? Eh, Mbak orang Balikpapan ya?”
“Hahaha. Aku juga kaget lihat kamu di sini. Kukira kamu orang Tenggarong. Ni aku mau ngajar di Bimbel Jumantara Borneo,” sahut Ningrum.
“Eh, aku juga ngajar di Jumantara Borneo, Mbak.”
Hana merasa akrab dengan perempuan muda berpenampilan modis itu, sehingga nyaman menggunakan ‘aku’.
Ningrum sedikit kaget, lalu mengajak Hana mengarahkan langkah bersama. Hana berkata ia mendaftar lewat iklan Bimbel Jumantara Borneo di sebuah papan pengumuman masjid besar. Mungkin pemiliknya sering ke masjid itu. Tak disangka dua bulan lalu mengontak agar Hana mengajar akuntansi karena ada peminatnya. Permintaan yang cukup berbeda, karena biasanya peminat bimbel jatuh pada pelajaran eksak dan bahasa Inggris.
“Mbak, sudah lama di Jumantara?” tanya Hana ke Ningrum.
“Sudah, dari lulus kuliah langsung ngajar SMP sama di sini, Han. Cocok bayarannya,” kata Ningrum tersenyum.
“Betul banget,” sambut Hana tertawa. Sudah menjadi pengetahuan bersama antar pengajar di bimbel tersebut, bahwa mereka dibayar lebih tinggi dibanding bimbel dan lembaga kursus terkenal mana pun di kota itu.
“Mmhh… Kamu dulu main teater ya kan?” tanya Ningrum.
“Main teater?” Hana berubah bingung. Akan tetapi tidak lama ia berhasil mengingat. Dulu, ia dan kawan-kawan sering berlatih peran di kamar kosnya yang besar. Mereka ingin mengadakan pertunjukan di kampus. Semua yang berperan adalah perempuan dan nantinya ditujukan untuk audiens perempuan. Karena sering menggunakan kamar kos, kawan Hana yang disapa Mbak Lastri sering ‘tersingkirkan’, demikian pula Ningrum yang sering mengunjungi Lastri.
“Dulu, kamu pernah ngasih tiket nonton untukku. Waktu itu aku mau banget nonton, karena peranmu antagonis. Kayak aneh aja lihat kamu yang beda gitu. Tapi, pas malam itu aku ketiduran, hahaha. Hangus deh, tiketnya,” jelas Ningrum.
Dahi Hana masih mengerut. Bagaimana ia hampir lupa? Kejadian itu waktu Hana masih awal kuliah. Selesai pentas pertama, mereka semua sibuk KKN. Setelah KKN, mereka sibuk menyelesaikan skripsi. Ketika masing-masing bertemu, bahasan mereka sudah berbeda. Hana baru ingat, karena berlatih teater itulah yang membuat ia dan Ningrum, yang berbeda usia, beda kampus, dan beda kos sempat akrab. Sampai Ningrum sibuk dengan tugas akhir kuliah, dan tidak pernah bertemu Hana lagi.
“Oya, ngajar di mana lagi selain di Jumantara?” tanya Ningrum.
“Di SMA Pattimura, Mbak. Aku baru di sana.”
“Serius! Itu terkenal lho. Anak-anaknya bandel katanya. Tapi itu dulu, sih. Mungkin sekarang beda,” papar Ningrum.
“Aku malah baru tahu SMA itu. Mungkin kelamaan di luar kota,” sahut Hana datar.
“Memang sekolah kecil kan ya? Katanya malah sekolah terakhir. Eh, itu kelasku. Aku duluan ya. Ntar kalau selesai, jangan pulang dulu. Kita ngobrol-ngobrol lagi.”
Hana dan Ningrum kemudian berbagi arah yang berbeda. Malam itu Hana cukup senang karena menemukan kawan mengobrol yang nyaman. Sekarang, ia mengingat alasan ikut kelas drama yang pernah dilakukannya juga di sekolah.
[ ]
“Ricky Febri Gransmorben.”
Bu Juni duduk terhenyak di kursinya setelah melemparkan berkas.
“Kenapa kita harus terus-terusan menerima anak seperti ini sih?” tanyanya tidak pada siapa pun. Wajahnya tampak lelah, padahal baru saja tiba.
Hana meminta izin untuk melihat berkas yang membuat rekan kerjanya muram. Tangan kanannya masih memegang teh yang baru dibuat. Berkas itu berisikan data murid baru, dengan dua buah foto yang membuat ingatan Hana segar kembali. Wajah anak lelaki dalam foto itu tersenyum dengan sorot mata tajam. Tampan, tapi licik. Wajah muda yang menantang Hana saat razia. Berkas itu menyebutkan si anak lelaki sudah tiga kali dikeluarkan dari sekolah yang berbeda. Namun, ada satu hal menggelitik Hana.
“Gransmor, apa tadi ? Itu nama Bapaknya?” tanya Pak Abui, guru kesenian.
“Bukan Pak. Nama Bapaknya Surya Wiguna, seperti nama—”
Belum selesai Hana menjawab, Bu Juni berkata, “Pengusaha. Bapaknya pengusaha. Gransmorben sepertinya nama keren aja.”
Bu Tri, seperti biasa yang senang menunggui anak-anak datang, masuk ke ruang guru dengan wajah ceria.
“Hey, coba lihat deh anak-anak kita hari ini.”
Hana pun mengikuti Bu Tri dan guru-guru lain untuk sekadar menengok apa yang terjadi. Di depan mereka sedang berjalan Januar dan Marlan dengan gagah. Pakaian mereka rapi, bersih, lengkap dengan sepatu hitam. Rambut mereka baru dipangkas, hitam tanpa warna lain. Tak ada anting-anting di telinga, tak ada plester luka yang tidak pada tempatnya.
Januar mendekati wali kelasnya, dan mengeluarkan isi tas.
“Bu, lihat deh. Bukuku lengkap kan?” tanyanya tersipu.
Bu Juni memandang senang muridnya.
Di belakang, ada Jamal dan kawan-kawan sekelasnya. Anak itu sangat rapi, juga dengan rambut yang baru dipangkas. Pemandangan itu seperti parade murid dengan kostum terbaik. Meski sebenarnya itu pemandangan yang biasa ditemukan di sekolah-sekolah umum.
“Ya Allah, Jamal. Gantengnya kamu, Nak,” sambut Bu Tri ketika melihat Jamal. Anak muda itu memang manis, tidak sangat tampan, tapi benar-benar nyaman dipandang, kecuali saat nyengir.
“Dari dulu aku ganteng. Ibu kok baru sadar? Kalau menurut Ibu itu, ganteng juga nggak aku?” Jamal bersuara dengan lantang.
“Iya, Jamal kamu ganteng banget. Rapi, bersih. Semoga tiap hari begini,” Hana menjawab. Dia sudah paham penyebutan Jamal tentang ‘Ibu itu’.
Jamal pun terkekeh. Teman-temannya mengolok, karena menurut mereka Jamal tidaklah ganteng. Namun, Jamal tidak tersinggung.